Senin, 18 April 2011

Hari ketika kamu pergi

"Tinggalin mereka, oke?" kata Faris tajam menatapku. Aku balas menatapnya. Pedih. Air mataku belum kering." Nggak bisa Ris! Kamu tau sendiri kan? Mereka sahabat-sahabatku?" sebenarnya ini bukan pertanyaan. Ini pernyataan. Kuharap dia tahu, betapa aku menyayangi sahabatku, Diva, Fia dan Lisa."jadi keputusanmu gimana coba?" Dia duduk disampingku. Aku benci pertanyaan ini, karena tak dapat ku pungkiri aku memang nggak jago sama sekali dalam mengambil keputusan. "jawab dong!" Sahutnya putus apa. "Aku nggak tahu Ris! Mereka udah nyakitin aku! Tapi kalo kamu nyuruh aku ninggalin mereka, jujur aku nggak bisa. Aku ngerasa mereka itu benar-benar sahabatku!""siapa yang nyuruh? Tadi kan kamu tanya pendapatku, jadi aku jawab sebaiknya kamu ninggalin mereka. Yah, aku nggak ngerti sih jalan pikiran cewek, habisnya aku kan cowok. Tapi, walaupun aku cowok, aku ngerti kok kalo nangis itu nggak enak!" Faris meringis.Aku tersenyum lemah. Humor garing!"jadi gimana dong?" rengekku."ye. . . Nih anak tanya lagi" Faris memukul pelan pundakku "ntar ku jawab Tinggalin mereka, disalahin!" Faris menggerutu. Kini giliran aku yang meringis."yah. . . Sori deh! Jawabku manja "tapi kamu kan cowok, yah. . . Sejauh yang ku tau nih, pemikiran cowok kan bisa lebih realistis dari pemikiran cewek""oh yah?" cibirnyaIngatan tentang Faris lagi. Ingatan tentang dia lagi. Sudah berapa kali aku mencoba untuk melupakannya Tuhan? Tapi aku nggak bisa."dia sudah mati Na! Dia sudah mati" teriak Diva untuk kesekian kalinya saat aku bilang aku melihat Faris dua hari yang lalu di halaman SMAku."Tapi itu beneran dia! Itu Faris Div!" Ratapku saat itu."oh, ayolah Na, kita semua tahu dia udah nggak ada! Coba dong kamu ngertiin dia? Biarin deh dia tenang disana.""tapi yang aku lihat itu beneran Faris!""Na!" bentak Fia "oke Saina, siapapun yang kamu lihat kemarin itu bukan Faris, oke?""Nggak!" aku memandang mereka bertiga "kenapa sih kalian nggak pernah percaya sama aku?"Lisa mendekatiku "Nggak gitu Na, kami cuma takut. . .""Takut?" tanyaku. Lisa hampir menjawab tapi kemudiaan"udahlah Lis!" Fia menengahi. Dia memandangku "lagian kamu masih punya kita bertiga kan? Biarin Faris pergi toh kamu masih punya kita bertiga. Kita bisa jadi sahabat kayak dulu lagi. Dan okelah, lupain Faris. Biarin dia tenang"Aku memandang Fia nggak percaya. Tapi, bahkan mereka tak menangkap pandanganku itu. Mereka malah tersenyum seolah nggak ada apa-apa. Tersenyum setelah apa yang Fia katakan?"Aku nggak percaya kamu ngomong kayak gitu" teriakku. Senyum mereka bertiga menghilang. "bisa-bisanya kalian kayak gitu? Bisa-bisanya kamu mikir kayak gitu?" Aku menatap Fia "lupain Faris?" kutirukan ucapan Fia "nggak segampang itu tahu!" bentakku."habis gimana dong Na! Dia udah mati Na! Dan kamu nggak harus terpuruk dalam kehilangan layak gini dong! Kamu masih hidup dan kamu juga masih punya banyak teman yang masih hidup untuk menemanimu" Lisa yang bicara."teman?"aku menatapnya"teman?"aku menatapnya "FARIS SAHABATKU" "DAN KAMI JUGA SAHABATMU!" Diva berteriak padaku. "apa? Sahabat? Aku nggak salah denger?" Aku tertawa sinis " Udahlah Na, aku bosen liat reaksimu yang gitu mulu saat kita bilang sahabat. Kamu tuh berubah sejak kenal si Faris. Kenapa? Kalian berdua pacaran hah? Dan si Faris nyuci otakmu?" "FIA" Lisa menyahut. " kenapa Lis? Sudah saatnya Saina tahu apa yang selama ini kita rasain. Dia sudah berubah. Mungkin Faris udah nyuci otaknya, sampek kita nggak sedekat dulu lagi. Iya kan?" Fia menatapku "kamu pikir kita semua seneng gitu liat kamu kemana-mana sama si Faris? Kita semua tuh muak, bosen, males lihat dirimu yang sekarang! Ninggalin yang lama demi yang baru. . ." "nggak" jerit Diva. "nggak Na, kami nggak gitu. Aku nggak gitu" "bohong" teriak Fia lagi "kenapa? Takut sama Saina? Dia emang gitu kok. Dan kenyataannya kami udah nggak kenal kamu lagi" Teriak Fia padaku. Hanya padaku. Oh Tuhan. Aku hanya bisa diam, terlalu sulit untuk mencerna semua, untuk mengucapkan sepatah kata-pun. Aku shock! Kehilangan Faris sahabat terbaikku, dan sekarang? Aku telah salah mengenal ketiga orang yang dulu kupikir adalah sahabatku. Mereka buruk. "yah, mungkin kalian benar" kataku lirih. Aku tahu, air mataku mulai membasahi pipiku. "aku pernah berpikir betapa rendahnya aku? Betapa piciknya aku? Aku slalu pengen kembali, pada kalian. Tapi kalian nggak kasih aku kesempatan kan?" aku menangis. Benar-benar nangis. "Na, jangan nangis dong"Lisa menatapku prihatin. Entah itu beneran dari lubuk hatinya atau mungkin cuma topeng "udahlah, kenapa sih masih dibahas juga? Ini cuma masalah kecil!" "nggak! Aku nggak mau kayak gini lagi! Plis Lis, aku mau semuanya jelas, sekarang atau begini selamanya!" dan kemudian, entah kenapa Lisa nurut dan diam seribu bahasa. Aku mengambil duduk membelakangi mereka dan menatap jalan raya di taman kota dekat SMA-ku. "kalian pasti ingat betul sejak kapan menurut kalian aku menghindari kalian kan?" "saat ada si Faris kan?" celetuk Fia bosan. Aku menatapnya "Tepat. Sejak Faris pindah ke SMA kita" "Dan menghancurkan semuanya?" kali ini Diva yang berceletuk "Tepat! Dia benar-benar menghancurkan semuanya kan? Persahabatan kita" air mataku menetes "baru nyadar Na?" Lisa ikut-ikutan ngomong. "nggak. Udah lama kok! Faris datang kesini dan cuma aku satu-satunya orang yang dia kenal disini. Aku nganterin dia kesana-kemari dan dengan sinisnya kalian bilang aku seperti orang lupa daratan kan? "Tapi kami nggak. . ." "cukup Div, aku tahu. Aku dengar sendiri saat kalian bertiga bilang kayak gitu. Dan kalian tahu gimana perasaanku dengar kalian ngomong kayak gitu? Perasaanku hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Sahabatku ngatain aku lupa daratan cuma karena aku ngebantu seseorang. Aku nggak tahu kenapa kalian begitu, dan saat ku tanya, kalian bertiga bersikap seolah nggak ada apa-apa "padahal aku tahu, kalian ada apa-apa. Kalian mengecapku dan Faris sebagai orang menyebalkan. Aku bingung, kenapa? Kenapa kalian begitu? Hingga akhirnya beberapa bulan yang lalu aku tahu alasannya" aku menghela napas. Ku pastikan jawabanku kali ini nggak akan membuat mereka bosan lagi."kalo kalian semua menyukainya?" kataku setengah berteriak. "apa maksudmu?" Teriak mereka bertiga serentak. Ku memandang jalan raya lagi. "jangan munafik" suaraku terdengar sinis sekarang "kalian semua menyukainya kan? Tapi kalian terlalu gengsi buat bilang kalo kalian suka sama dia" "siapa maksudmu?" suara Fia bergetar "kalian. Kalian semua. KALIAN BERTIGA" Teriakku. "Nggak!" cicit Lisa. "apa perlu ku tunjukin buktinya?" aku memandang Lisa. "gak mungkin kami suka sama cowokmu" Teriak Diva "DIA BUKAN COWOKKU" teriakku "LALU SIAPA? PACARMU?" Diva berteriak lagi. "itu yang aku benci dari kalian" aku berdiri "kalian nggak pernah tanya ke aku dulu sebelum kalian nge-judge aku! Asal kalian tahu ya! FARIS BUKAN PACARKU! DIA ANAK DARI SEPUPU PAPAKU, DAN AKU NGGAK PERNAH MENYUKAINYA! Kalian nggak tahu itu kan? Kupikir pindahnya Faris bakal asyik, aku bisa cerita ke kalian 'hey, aku punya sodara cakep looo' lalu aku bisa jadi mak comblang kalo ternyata salah satu dari kalian ada yang naksir dia! Tapi apa? Kalian nggak mau kan repot-repot nanya ke aku? Boro-boro nanya, tiap aku mau cerita kalo Faris itu sodaraku , baru aku nyebut nama Faris aja kalian udah jealous dan langsung ganti topik. Kalian tahu nggak? Hatiku tuh sakit kalian gituin. Kalian sudah nggak pernah ada di saat ku butuh. Kadang-kadang aku pengen teriak 'DIA SODARAKU. DIA SODARAKU! Jangan musuhin aku! Tapi aku nggak bisa teriak. Aku kesal sama kalian dan ku biarin kalian mikir kalo Faris itu pacarku, biar kalian sakit juga" "gila kamu" "Lalu kamu ada Div? Apa hah? Aku mendekatimu! Aku pengen cerita ke kamu! Tapi kamu nggak peduli. Tiap ku sebut mana Faris kamu mesti langsung jealous. Kamu menyukainya. Sebenernya aku pengen bantuin kamu tapi bahkan kamu nggak mau ngaku kalo kamu suka sama Faris. Lalu kemudian aku ke Lisa, ke Fia, dan hasilnya sama aja tau nggak?" aku menangis. "Na!" "Fia, kamu nggak tahu kan kalo Faris naksir kamu?" air mata Fia menetes "aku?. . . Kenapa?" ujarnya terbata "kenapa kamu nggak bilang?" "dan kenapa juga kamu nggak mau repot-repot bilang ke aku kalo kamu suka sama Faris? Tahu nggak? Aku adalah orang yang paling shock pas tau kalo kamu pacaran sama Ciko. Apalagi aku tahunya dari orang-orang, bukan dari kamu! Kamu harusnya ngerti gimana perasaanku saat itu. Sakit. Terkhianati. Ngrasa kalo aku bukan siapa-siapamu, kalo aku bukan sahabatmu! Dan satu, aku nggak mungkin bilang disaat kamu sudah jadi ceweknya Ciko" "harusnya kamu kasih tau aku sebelum aku pacaran sama Ciko" "aku nggak tau Fia, dulu aku nggak tahu kalo kamu juga suka sama dia, ku pikir cuma Lisa sama Diva yang suka sama Faris" "kenapa kamu lakuin ini sama aku?" tanya Fia lirih. "kalian yang kenapa lakuin ini sama aku? Kalo saja kalian tuh nggak langsung nge-judge aku kayak gitu, ini semua nggak bakal terjadi!" aku menangis lagi. Belum pernah aku sesakit ini. "sakit rasanya diasingkan"aku duduk memandang jalan lagi. Kemudian kami semua terdiam lama banget. Lalu disana. Tepat di seberang jalan sama. Aku melihat seorang cowok melambaikan tangan kearahku, memanggilku. Aku berdiri berjalan menghampirinya, kemudian ku dengar suara Lisa "maafin kami, kami takut kehilanganmu untuk kedua kalinya" dan ajaib. Aku tak mengacuhkannya. Aku terus berjalan menghampiri cowok yang sedari tadi melambai ke arahku. Cowok itu Faris. Dia tersenyum masih melambaikan tangannya ke arahku "Faris?" bisikku, aku berlari menyebrang jalan dengan semangat 45 kemudian ku dengar ada yang berteriak "SAINA!" Hanya selang beberapa detik aku mendengar bunyi rem berdecit dan sebuah benda keras menghantamku. Kurasakan tubuhku terpental entah kemana lalu semuanya gelap.
*selesai :)*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar