Kamis, 14 April 2011

cinta si anak manja

Kini Wulan merasa telah tahu duduk persoalannya, kenapa Tania begitu ngotot memaksanya datang. Sebenarnya Wulan ingin tertawa geli, tapi ia tak tega. Betapapun Tania memang nampaknya amat berantakan. Air matanya tak juga kunjung berhenti menetes. Namanya juga anak manja!Persoalan sebenarnya sederhana saja, dan seperti yang sudah- sudah, Tania selalu menunggu jalan penyelesaian atau pemecahannya dari mulut Wulan. Menghadapi situasi seperti ini, Wulan sering kali menyesal walau tak punya pilihan lain. Tania, sepupunya ini, memang anak tunggal. Dan untuk urusan-urusan tertentu, nampaknya ia tak cukup punya keberanian untuk mengungkapkannya di depan ortu sendiri. Termasuk urusan yang satu ini.“Masak, sih, kamu nggak kenal Yusdi?”Wulan menggeleng.“Sama sekali?” Mata yang masih basah itu melotot. “Bullshit! Kalian satu sekolah, masak nggak kenal?”“Kenal sih kenal, tapi ya gitu-gitu aja. Nia… sekolahku penghuninya hampir empat ratus manusia. Masak, harus kenal satu per satu? Lagian kelas Yusdi emang jauh banget sama kelasku. Paham?”Kini Tania yang menggeleng.Wulan melengos untuk menahan kata yang nyaris meluncur dari bibirnya yang senantiasa basah. Sebenarnya ia hendak mengatakan bahwa Yusdi sama sekali bukan cowok populer di sekolah. Ia bahkan tak pernah masuk hitungan dalam kancah pergosipan di sekolah. Yang ia tahu, Yusdi justru tergolong cowok nyentrik. Pendiam, penyendiri. Jelas sekali, ia seperti sering sengaja menarik diri dari persahabatan yang intens dengan orang lain, terlebih dengan lawan jenis. Dua bulan yang lalu, Wulan cukup kaget mendengar penuturan Tania bahwa ia mulai dekat dengan Yusdi, meski sebelum itu Wulan sudah tahu bahwa kebetulan mereka berdua mengikuti bimbingan belajar di sebuah lembaga yang sama. Mereka pacaran. Tapi waktu itu Tania tak pernah meminta Wulan untuk memata-matai Yusdi. Jadi, salah siapa kalau sekarang Yusdi tetap asing di mata Wulan?“Kamu keterlaluan! Seharusnya kamu lebih mengenal Yusdi. Doi itu cowokku!”Wulan memilih diam. Salah-salah ucapannya bisa membuat Tania semakin emosional.“Okelah, sekarang tolong kamu nyari tahu tentang Mirna,” Tania mengiba.“Anak kelas dua, ya?”“Iya!”“Aku juga nggak kenal sama dia. Cuman setahuku doi aktif di OSIS.”“Makanya!” Suara Tania kembali meninggi. “Kamu selidiki cewek gatel bernama Mirna itu!”“Gatel? Panuan kali, ya?”“Wulan! Aku serius! Apa sebutan yang tepat untuk cewek yang merebut pacar orang?”“Apa persoalannya emang cuman begitu?”“Sudah! Kamu banyak ngocolnya aja!”Lagi-lagi Wulan harus mengalah. Jika anak manja ini sudah bersikap seperti itu, alamat harus dituruti kemauannya. Jika tidak, buntutnya bisa lebih runyam. Berkepanjangan dan bisa tidak bermutu sama sekali.“Jadi, sekarang tugasku cuma nyari tahu tentang Mirna?”“Menyelidikinya! Juga Yusdi, Wul…”“Gimana, sih? Tugas kok rangkap-rangkap gitu?”“Kamu mata-matai mereka berdua. Apa bener mereka kayak gosip yang kudengar?”“Kalau bener?”Pandangan Tania menerawang.“Apa perlu bikin laporan di atas kertas ukuran folio dan bermeterai…”“Wulan! Aku serius!” Ternyata gampang-gampang saja menemukan Yusdi tengah sendirian. Tak perlu menunggu waktu berhari-hari untuk mencari kesempatan. Yusdi tengah sendirian di meja pojok kantin sekolah. Untuk sesaat Wulan sengaja memandanginya dari kejauhan. Menyaksikan betapa cueknya cowok itu dengan gado-gadonya. Gaya makannya, plus sebelah kakinya yang nangkring di atas bangku, terkesan seenaknya. Tapi anehnya Wulan jadi kepengen berlama-lama menatap yang seperti itu. Sayangnya detik demi detik terus bertambah, dan Wulan tak ingin kehabisan jam istirahat ini.“Yusdi?”Yusdi menghentikan gerakan sendoknya sebentar, menengok sebentar lalu meneruskan makannya.“Saya, Wulan…”“Oh ya!” Akhirnya Yusdi membagi perhatiannya juga. “Saya ngerti siapa kamu. Kemarin di Lomba Vokal itu kalah, kan? Cuma juara harapan kedua, ya?”Wulan seperti tertohok. Ini namanya penghinaan! “Tapi cukup bisa bikin saya rada beken, kan? Nyatanya kamu ngerti saya,” ucap Wulan sebal.“Lebih dari itu,” Yusdi menyeka mulutnya yang belepotan dengan tisu. “Saya juga ngerti bahwa kamu sepupu Tania, dan kamu datang menemui saya atas suruhan Tania.”Dan sebelum Wulan sempat berkomentar, Yusdi sudah meneruskan ucapannya, “Kamu jadi pesuruhnya, kan?”“Apa kamu nggak punya kosakata yang lebih indah?Yusdi menyeringai. “Jangan tersinggung, Wulan…”“Kamu ngerti nama saya?”“Kenapa? Merasa makin beken, ya? Barusan kamu udah nyebutin sendiri nama kamu. Jangan geer!” Sekali lagi Wulan terpana. Baru sekian menit berhadapan dengan cowok ini, ia serasa menemukan banyak sekali kejutan. Semua sungguh di luar dugaannya. Kini Wulan merasa bertemu dengan makhluk yang makin asing baginya.“Tania emang minta tolong saya buat memata-matai kamu. Tapi kayaknya kok aneh. Saya ogah jadi detektif, kok. Makanya saya mutusin buat ketemu langsung sama kamu…”“Dan…?”Wulan mendadak bingung. Kini disadarinya lagi, apa yang hendak ia urus?“Kok kamu mau-maunya ngurusin urusan pribadi sepupu kamu? Jangan -jangan urusan kamu sendiri jadi terlantar!”Wulan terpaku.“Bengong?”“Kamu ini…?”“Udah deh, mendingan kamu biarkan saya sendirian aja. Dan kamu bisa menemui saya lagi, kalo kamu udah makin siap.”“Saya hanya kasihan sama Tania…” Wulan merasa dirinya jadi manusia terbodoh di dunia. Sudah banyak ia bergaul dengan cowok, bahkan sering kali menjadi leader, tapi kali ini ia merasa mati kutu.“Saya juga kasihan sama kamu. Kamu berniat menolong, sementara kamu sendiri nggak ngerti harus berbuat apa. Lucu, kan?”Oh, sombongnya!Yusdi mengangkat gelas teh esnya, isyarat menawari minum, tapi Wulan membalasnya dengan gelengan.“Saya senang, ternyata kamu nggak marah, meski saya udah bersikap kurang baik sama kamu,” Yusdi tertawa lepas. “Itu ngebuktiin bahwa kamu bukan cewek manja kayak sepupu kamu, Tania.”“Cewek manja?”“Bukankah begitu? Tania manjanya kelewatan, emosional lagi! Kamu pasti nggak pernah ngerti betapa capeknya kami berantem.
Betapa repotnya saya berusaha mengimbangi kemauannya. Ini baru dua bulan pacaran. Bayangin, apa yang terjadi besok dan besoknya lagi. Makin capek!”“Lalu kamu berpaling pada Mirna?”“Ah, kamu pendengar yang baik, tapi hanya bisa membaca permukaan.”“Ada yang salah?”“Tentang Mirna?” kata Yusdi dengan mata tak berkedip. “Kami mulai deket, tapi bukan berarti udah pacaran. Setidaknya Mirna nggak semanja Tania. Lebih gampang mengatasi anak itu.”“Mengatasi? Emangnya cewek itu cuma masalah buat kamu?”“Maunya sih enggak.” Yusdi bicara dengan tangkasnya. “Tapi ternyata sering jadi masalah. Kamu mau, pacaran dan menerima masalah terus-terusan?”Tak sadar Wulan menggeleng.“Makanya! Saya udah bilang sama Tania, ngapain diterusin kalo nyatanya berantem melulu.”“Karena Tania? Dia yang selalu jadi penyebabnya?”“Kamu lebih ngerti seperti apa sepupumu itu. Dan… kamu belum tahu tentang saya. Jadi, mikir sendiri!“Jawabanmu kelewat diplomatis!”“Terserah.”“Tapi Mirna?”“Apakah Tania belum bilang bahwa saya mulai ngedeketin Mirna setelah kami putus?”“Kalian udah putus?” Wulan tersekat.“Iya, dong. Saya udah bilang langsung sama Tania bahwa kami nggak mungkin nerusin hubungan yang nggak pernah baik itu.”Wulan terpekur sesaat. Inilah kuncinya. Tapi kenapa Tania tidak mengatakannya?“Sekarang katakan aja, salah saya di mana?”“Tania nggak bilang bahwa kalian udah putus,” kata Wulan lesu. “Tania cuma bilang, kamu nggak setia lagi. Kamu punya selingkuhan, Mirna itu…”“Keblinger! Lagian kata siapa saya dan Mirna udah pacaran?”
“Ah?”“Kaget, kan?”“Kamu jujur?”“Kamu nggak kenal saya, sih.”“Ya. Sampai detik ini pun terus terang saya masih bingung…”“Padahal saya enggak bingung lagi tentang kamu.”Wulan menatap lurus ke mata Yusdi.“Saya ngerti, kamu bukan cewek yang manja. Bukan cewek yang gampang patah arang. Seandainya seperti Tania, pasti kamu udah pergi sejak tadi.”“Saya emang bukan Tania.”“Ya, saya yakin itu…”“Ya udah…”“Apanya yang udah?” Yusdi seolah menahan tawa.“Terus terang, saya nggak ngerti musti bicara apa lagi.”“Grogi, ya?”“Hhh! Ngg… nggak gitu. Tapi… mungkin lebih baik jika saya mendesak Tania buat ngejelasin semuanya.”“Apa perlu? Menurutku, urusan saya sama Tania udah rampung.”“Tapi saya kasihan melihat dia kayak sekarang.”“Nanti dia juga akan baikan lagi. Biasa… jatuh cinta, putus, jatuh cinta lagi, putus lagi...”“Kok…?”“Habis, musti gimana? Apa perlu saya harus menangisi perpisahan kami? Tania, sepupumu itu yang kelewatan. Manjanya overdosis. Masalah sederhana kayak ini kenapa musti ngelibatin kamu? Kamu sendiri juga aneh. Ngapain mau melibatkan diri dalam urusan yang nggak bermutu seperti ini?”Suara bel masuk memutuskan percakapan mereka.“Mungkin lain kali kita sambung lagi, setelah saya ngedapetin penjelasan dari Tania.” Wulan lebih dahulu berdiri.Tapi… tapi?!Wulan tersekat. Lengannya terpegang erat oleh Yusdi.“Ya, kita harus ketemu lagi, Wulan…”Hati Wulan berdebar keras.“Kamu ngerti, nggak? Saya mendadak menyesal, kenapa tidak sejak dulu saya mengenalmu. Kenapa nggak sejak dulu kita saling mengenal…” kata Yusdi lirih.Wulan tertegun.“Andai saya mengenalmu dulu-dulu, mungkin kamu udah jadi pacarku!”Wulan menarik tangannya dari cekalan Yusdi dan secepatnya berlari meninggalkan Yusdi. Wulan tak ingin Yusdi tahu betapa merahnya mukanya saat itu. Wulan tak ingin Yusdi mendengar debar jantungnya.Nggak kuaaat...!

1 komentar: