Kamis, 14 April 2011

KALI INI AKU MENYERAH

Diri ini memang jauh dari kata sempurna,
Wajah,
Fisik, dan
Kecerdasanku
Semuanya terbatas
Tetapi bukan berarti dengan keterbatasanku ini,
Kau bisa menyakitiku hingga aku merasa……..
Aku tak sanggup lagi……….
*
Tuhan………..
Mengapa Kau pertemukan aku dengan dia,
Jika kini pertemuan itu membuatku tersiksa?
Mengapa Kau hadirkan dia di kehidupanku,
Jika kini hidupku menjadi hancur karenanya?
Mengapa Kau hadirkan senyumnya di hadapanku,
Jika kini aku tak mampu melupakan senyumannya itu?
Walaupun dia telah melukai aku
Kini aku tersiksa…..
Karena aku tak mampu menghapus bayangnya di benakku,
Illahi Robbi………
Aku harus bagaimana ?
*
Di saat aku membutuhkanmu
Kamu pergi,
Di saat aku mengharapkanmu,
Untuk ada di sampingku,
Kamu menghilang,
Di saat diri ini lemah dan terluka
Kau tak pernah ada,
Inikah balasanmu padaku,
Yang selalu ada untukmu,
Di saat kau membutuhkan aku,
Inilah balasanmu untukku.
Yang tak pernah letih mencintaimu?
Walaupun kau terus menerus menorehkan luka di hatiku,
Inikah balasanmu terhadap ku yang selalu mengalah,
Melawan keegoisanmu?
Aku yang berharap,
Kau dapat menjaga hati ini,
Agar tak berujuang rapuh,
Malah kau tancapkan panah kepedihan,
Yang akhirnya hati ini,
Menjadi lumpuh.
*
Inilah aku,
Yang selalu mencurahkan apa yang aku rasa menjadi
sebuah puisi, yang sebenarnya bagiku belum pantas,
disebut puisi, karena kata-katanya yang masih amburadul,
Tapi semua yang aku tulis itu, kenyataan, karena aku benar-benar merasakannya,
Sudah banyak puisi yang aku hasilkan akibat rasa perih yang aku rasa, dari mulai puisi sakit hati karena di khianati, dibohongi dan dilukai dengan berbagai cara.
Aku mencurahkan semuanya ke dalam sebuah puisi, karena aku tak pernah bisa berbagi atau menceritakan masalahku kepada orang lain. Aku selalu memendamnya sendiri, tanpa ingin orang lain tahu apa masalahku.
*
Entah mengapa hawa malam ini begitu panas kurasakan, padahal di luar hujan turun dengan derasnya. Mungkin ini disebabkan karena hatiku yang tak pernah bisa tenang.
Hatiku remuk redam tertimpa baru cobaan yang begitu berat.
Aku tak pernah mengerti mengapa hidupku seperti ini, cobaan demi cobaan sepertinya tak pernah berhenti menerpa hidupku.
Tapi aku, yang bernama Tami bisa menerimanya dengan ikhlas kecuali cobaan yang aku terima kali ini.
*
Hujan mulai reda
Aku mencoba membuka jendela kamarku untuk sekedar merasakan hembusan angin malam, aku merenung di bawah sinar rembulan yang mulai tampak ketika hujan pargi.
Tak terasa air mataku jatuh membasahi pipi.
Aku tak kuat lagi, Aku ambruk di lantai dan menangis sejadi-jadinya, aku tak kuat lagi, dan sejak saat itu hatiku tak pernah berhenti menangis.
Rasa sakit hati ini berawal, ketika aku bertemu dan mengenal dirinya lagi, sebut saja dia Riki. Aku mengenal dia sejak aku duduk di bangku kelas I Sekolah Dasar, selama 3 tahun aku bersamanya dalam satu kelas, dan selama itu juga dia tak pernah ramah padaku, karena waktu itu aku adalah saingannya yang dia takutkan akan merebut gelar juara kelasnya.
Padahal andaikan dia tahu, aku sebenarnya tak pernah menginginkan gelar itu, karena aku sudah cukup bangga mendapat peringkat ke dua dikelasku, sampai akhirnya tepat ketika pertengahan kelas III, Aku pindah dari sekolah itu, karena masa kerja ayahku di daerah itu telah habis dan pindah tugaskan di daerah yang kini menjadi tempat tinggalku sekarang. Sejak kepindahan itu, sampai aku duduk dibangku SMA, Aku tak pernah tahu bagaimana keadaan dia dan tak pernah bertemu dia lagi, bahkan aku mungkin hampir melupakannya, jika tak ada seoorangpun yang mengingatkan akan dia.
Tapi aku beruntung ada seseorang yang membuka memoriku lagi tentang dia.
Kejadiannya begini.
Pada suatu hari, di saat jam istirahat sekolah, seperti biasa aku dan teman-teman aku menuju kantin untuk memberi makan cacing-cacing penghuni perut kami, yang sudah sejak pelajaran pertama minta diisi ketika sedang asik-asiknya memilih makanan, salah satu temanku memanggilku dan aku menghampirinya, kemudian dia bertanya.
“Mi, kenal sama yang namanya Riki gak? Itu temen kamu waktu di Sekolah Dasar dulu?” Aku terdiam, Riki …..? Siapa ya pikirku, tapi aha! – ya, aku mengingatnya.
“Iya-iya, aku ingat, memangnya kenapa? Kok kamu kenal sama dia kenal dari mana?”
“Oh ….. dia temanku waktu SMP, ketika aku masuk SMA ini, dia bertanya, kalau di SMA tempat sekolah aku sekarang ada yang namanya Tami nggak, aku bingung soalnya waktu itu aku agak lupa-lupa ingat sama kamu, maklum kita kan beda kelas, he he maaf ya, tapi setelah aku ingat-ingat aku kenal sama kamu, terus aku bilang sama Riki, kalau aku kenal sama kamu terus dia minta nomor ponsel kamu, boleh?” Tanyanya.
“Duh…… aku tidak hafal nomor ponsel aku, gimana kalau nomor dia saja yang kamu kasih ke aku, entar aku yang menghubungi dia?.”
“Oh boleh …..” jawab dia.
Lalu dia memberikan nomor ponsel Riki padaku, dan aku tak sadar untuk pikirku dalam hati.
*
Sampai di rumah aku langsung menghubunginya, hampir semalaman aku dan dia saling berkirim pesan singkat. Dan, ternyata dia berubah kini dia menjadi ramah padaku, ternyata usia bisa merubah segalanya. Mulai detik itu hampir setiap hari Riki selalu menghubungi aku, hingga pada suatu waktu dia berhasil mencuri hatiku. Sejak saat itu tubuhku secara direngkuh oleh sayap-sayap cinta yang tanpa aku sadari, bahwa dibalik sayap-sayap itu terdapat pedang-pedang kepedihan yang bisa kapan saja mengiris hati ini.
Ternyata itu benar.
Perlahan-lahan sayap-sayap itu mengeluarkan pedang-pedang kepedihannya karena kebahagiaan yang aku rasa hanya sekejapku rasakan. Hari demi hari sifatnya kian berubah, akupun tak mengerti mengapa dia bisa berubah secepat itu.
Sifatnya yang dulu baik dan pengertian, berubah menjadi seseorang yang begitu angkuh, egois dan tak pernah memikirkan perasaanku, bahkan aku menangispun dia tak peduli.
Sejak dia masuk di kehidupanku, sejak itulah aku berubah, seorang Tami yang biasanya selalu tersenyum kini berubah menjadi Tami yang begitu pendiam. Riki tak pernah menghiraukan bagaimana sakitnya aku.
Hari demi hari dia torehkan luka dihatiku karena keegoisannya sudah tak terhitung berapa kali aku menangis karenanya. Teman-temanku yang mengenal Riki mengatakan, “Beruntung ya kamu bisa dapetin pacar sepintar Riki”
Aku hanya bisa tersenyum.
Mereka tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mereka tak tahu dibalik senyumku tergores luka hati yang begitu pedih.
Hanya sedikit dia memberikan manisnya madu cinta kepadaku, selebihnya dia menebarkan racun-racun kepedihan dihatiku.
Dan malam ini adalah puncaknya rasa sakit yang dia berikan dia menduakan cintaku lagi untuk yang kesekian kali.
Aku lelah disakiti, aku bosan memberikan maaf baginya.
Memang, kemarin-kemarin aku masih bisa memaafkan semua kesalahannya, berusaha tabah dan berhadap dia akan berubah.
Tapi dia tak pernah bisa berubah, dia selalu mengulang semua kesalahan yang dia perbuat, yang sudah tak bisa aku hitung berapa kali dia mengulang semua kesalahannya itu.
Malam ini aku sudah tak sanggup lagi, bayangkan dia menduakan aku dan aku melihat bukti-bukti semua itu.
*
Jilbab yang aku kenakan telah basah oleh air mataku.
Angin malam menjadi saksi bisu atas jatuhnya jiwa ini.
Lalu aku mendekap Al-Qur’an didadaku dengan air mataku yang masih mengalir, aku berdo’a.
“Ya Tuhan……
Aku tak sanggup lagi menahan siksaan batin yang kau berikan padaku, kemarin aku masih bisa bersabar, dan mencoba untuk tabah.
Seberapa berat cobaan yang kau berikan, aku bisa menerimanya dengan ikhlas.
Tapi untuk cobaan kau kali ini, aku tak mampu lagi untuk bersabar, aku tak sanggup lagi untuk mencoba tabah.
Aku hanya berharap satu pada-Mu.
Aku ingin kembali kepada-Mu
Aku tak sanggup
Aku tak mampu
Aku tersakiti
Aku terhianati
Oleh orang yang aku kasihi.”
Dengan masih terisak, aku melanjutkan do’aku yang terakhir.
“Demi Allah. Ya Tuhan …
Aku yang dulu selalu berusaha tegar dan tabah
Kali ini aku tak sanggup lagi untuk hidup
Bahwa aku pergi ke tempat yang tak lagi mengenal rasa sakit hati
Demi Allah
Kali ini aku menyerah.”
*
Beberapa detik kemudian tubuhku serasa diselimuti oleh cahaya rembulan
Rasa pedihku berangsur hilang, hilang dan hilang
Aku ambruk di lantai dengan Al-Qur’an di pangkuanku.
Di sisa-sisa nafasku bibir ini bergerak mengucapkan kalimat syahadat dengan lirih dan “Terima kasih Tuhan, Kau mengabulkan do’aku”
Lalu gelap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar