Kamis, 14 April 2011

I B U

Sewaktu masih kecil, aku sering merasa dijadikan
pembantu olehnya. Ia selalu
menyuruhku mengerjakan tugas-tugas seperti menyapu
lantai dan mengepelnya setiap
pagi dan sore. Setiap hari, aku 'dipaksa' membantunya
memasak di pagi buta
sebelum ayah dan adik-adikku bangun.

Bahkan sepulang sekolah, ia tak mengizinkanku bermain
sebelum semua pekerjaan
rumah dibereskan. Sehabis makan, aku pun harus
mencucinya sendiri juga piring
bekas masak dan makan yang lain. Tidak jarang aku
merasa kesal dengan semua
beban yang diberikannya hingga setiap kali
mengerjakannya aku selalu
bersungut-sungut.

Kini, setelah dewasa aku mengerti kenapa dulu ia
melakukan itu semua. Karena aku
juga akan menjadi seorang istri dari suamiku, ibu dari
anak-anakku yang tidak
akan pernah lepas dari semua pekerjaan masa kecilku
dulu. Terima kasih ibu,
karena engkau aku menjadi istri yang baik dari suamiku
dan ibu yang dibanggakan
oleh anak-anakku. Saat pertama kali aku masuk sekolah
di Taman Kanak-Kanak, ia
yang mengantarku hingga masuk ke dalam kelas. Dengan
sabar pula ia menunggu.

Sesekali kulihat dari jendela kelas, ia masih duduk di
seberang sana. Aku tak
peduli dengan setumpuk pekerjaannya di rumah, dengan
rasa kantuk yang
menderanya, atau terik, atau hujan. Juga rasa jenuh
dan bosannya menunggu. Yang
penting aku senang ia menungguiku sampai bel berbunyi.

Kini, setelah aku besar, aku malah sering
meninggalkannya, bermain bersama
teman-teman, bepergian...
Tak pernah aku menungguinya ketika ia sakit
ketika ia membutuhkan pertolonganku
disaat tubuhnya melemah.
Saat aku menjadi orang dewasa,
aku meninggalkannya karena tuntutan rumah tangga.
Di usiaku yang menanjak remaja,
aku sering merasa malu berjalan bersamanya.
Pakaian dan dandanannya yang kuanggap kuno
jelas tak serasi dengan penampilanku yang trendi.

Bahkan seringkali aku sengaja mendahuluinya berjalan
satu-dua meter didepannya
agar orang tak menyangka aku sedang bersamanya.
Padahal menurut cerita orang,
sejak aku kecil ibu memang tak pernah memikirkan
penampilannya, ia tak pernah
membeli pakaian baru, apalagi perhiasan...
Ia sisihkan semua untuk membelikanku
pakaian yang bagus-bagus agar aku terlihat cantik...
ia pakaikan juga perhiasan di tubuhku
dari sisa uang belanja bulanannya.

Padahal juga aku tahu, ia yang dengan penuh kesabaran,
kelembutan dan kasih sayang mengajariku berjalan.
ia mengangkat tubuhku ketika aku terjatuh...
membasuh luka di kaki dan mendekapku erat-erat...
saat aku menangis.

Selepas SMA...
ketika aku mulai memasuki dunia baruku
di perguruan tinggi.

Aku semakin merasa jauh berbeda dengannya
Aku yang pintar, cerdas dan berwawasan
seringkali menganggap ibu sebagai orang bodoh...
tak berwawasan hingga tak mengerti apa-apa...
Hingga kemudian komunikasi yang berlangsung
antara aku dengannya hanya sebatas permintaan
uang kuliah dan segala tuntutan keperluan
kampus lainnya.

Usai wisuda sarjana, baru aku mengerti...
ibu yang kuanggap bodoh...
tak berwawasan...
dan tak mengerti apa-apa itu…
telah melahirkan anak cerdas
yang mampu meraih gelar sarjananya.
Meski Ibu bukan orang berpendidikan…
tapi doa di setiap sujudnya…
pengorbanan dan cintanya…
jauh melebihi apa yang sudah kuraih.

Tanpamu Ibu…
aku tak akan pernah menjadi aku yang sekarang.
Pada hari pernikahanku…
ia menggandengku menuju pelaminan
ia tunjukkan bagaimana meneguhkan hati,
memantapkan langkah menuju dunia baru itu
Sesaat kupandang senyumnya
Begitu menyejukkan...
jauh lebih indah dari keindahan senyum suamiku
Usai akad nikah, ia langsung menciumku
saat aku bersimpuh di kakinya

Saat itulah aku menyadari...
ia juga yang pertama kali memberikan
kecupan hangatnya ketika aku
terlahir ke dunia ini...

Kini setelah aku sibuk dengan
urusan rumah tanggaku
Aku tak pernah lagi menjenguknya
atau menanyai kabarnya

Aku sangat ingin menjadi
istri yang shaleh dan taat kepada suamiku
hingga tak jarang aku membunuh
kerinduanku pada Ibu

Sungguh...
kini setelah aku mempunyai anak,
aku baru tahu...
bahwa segala kiriman
uangku setiap bulannya tak lebih berarti dibanding
kehadiranku untukmu
Aku akan datang dan menciummu Ibu,
meski tak sehangat cinta dan
kasihmu kepadaku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar