Jumat, 15 April 2011

Kasmaran

Teve diruang tamu menayangkan acara kuis kesukaan Tyas. Kulihat dia sedang asyik memperhatikan. Sementara pikiranku malah melayang jauh ketempat lain, kepada seseorang yang lain. Seseorang yang baru kukenal seminggu yang lalu, tapi langsung merebut hatiku seketika, tanpa bisa kucegah. Padahal aku telah berkomitmen pada Tyas, untuk melalui seluruh hidupku bersamanya dan akan terus mencintainya selamanya. Mengingat jalan yang kami tempuh begitu sulit, dengan tantangan dari orangtua Tyas yang sangat tidak menyetujui hubungan kami. Semua yang kami pertaruhkan demi cinta kami berdua. Dan selama ini, tak ada seorangpun yang dapat menghancurkan ikatan kami yang begitu kuat selama empat tahun hubungan kami.
Sampai malam Minggu lalu, di The Box Café, pesta ulangtahun Jez sahabatku, aku terpaksa datang sendiri karena Tyas harus pergi ke rumah orangtuanya di Bandung. Disana aku melihatnya untuk pertama kalinya, namanya Lea. Perempuan tinggi langsing berambut hitam panjang yang punya senyum secerah matahari pagi, yang matanya bersinar bila sedang bicara, tertawa, bahkan bila sedang mendengarkan cerita orang lain didekatnya. Lea seperti magnet yang langsung menarikku, begitu aku melihatnya. Aneh, karena dia sama sekali tak menaruh perhatian khusus padaku atau bergenit-genit menggodaku, seperti beberapa perempuan lain yang berada disitu.
Sesekali dia tampak tak peduli pada keramaian sekitar. Dia sibuk SMS an atau bicara lewat handphonenya. Sesekali kembali kekerumunan, menanggapi candaan yang lain dengan ikut tertawa renyah. Kesannya cuek dan tak peduli. Tapi caranya tertawa, sangat menarikku, lepas seakan tak ada beban. Rambutnya yang tergerai lepas, kadang disibaknya dengan cara yang menurutku sangat menarik.
Sejak menjabat tangannya sambil menyebut namaku dengan sungguh-sungguh, sementara dia hanya menyebutnya sambil lalu dan langsung asyik lagi dengan handphone-nya, aku tak bisa lagi melepasnya dari pandanganku. Dia sangat menawan.
“ Lea,” kusentuh bahunya.
Dia mendongak, menatapku. Matanya, duh.
“ Boleh pinjam lightermu? “ Tanyaku dengan suara bergetar. Keanehan yang kedua, kenapa harus grogi berhadapan dengan perempuan satu ini.
Dia tertawa kecil. Tangannya menyodorkan lighter ditangannya, langsung menyalakan rokokku.
“ Thanks, ya “ Kataku.
“ Kamu temannya Jez? “ Tanyanya, sambil lagi-lagi menyibak rambut panjangnya.
“ Iya. Kamu? “ Aku balik bertanya.
“ Selingkuhannya,” Lea tertawa lebar.
Tawanya membuatku kembali bergetar.
Tiba-tiba Jez datang, memeluk pinggang Lea dan menciumnya, tepat didepan mataku. Lea tertawa lepas.
Kupelototi, Jez tak peduli. Tak habis pikir aku, Jez pacar Seyla yang juga sahabat Tyas, kekasihku. Seyla belum kembali dari tour Eropa bersama keluarganya dan itu baru seminggu yang lalu. Bagaimana bisa pada waktu yang sesingkat itu, Jez sudah jatuh kepelukan perempuan lain yang, yah…harus kuakui, akupun akan sulit menolaknya apabila hal itu terjadi padaku.
Tanpa basa-basi, keduanya kemudian meninggalkanku yang hanya bisa terpana dan tak bisa berkata-kata. Tangan mereka bergandengan erat, sesekali saling bertukar pandang dengan pandangan kasmaran. Detak jantungku berdebam keras. Aku cemburu! Rasa yang aneh terutama karena aku belum mengenal perempuan itu sebelumnya.
Beberapa hari setelah itu, aku ketemu Jez lagi dikantin kantor. Kami sekantor, beda divisi. Dari dia aku tahu, Lea jujur waktu mengatakan statusnya. Jez punya hubungan special dengan Lea, lebih dari sekedar teman biasa.
“ She’s amazing,” puji Jez tentang Lea. “ Bersamanya nggak ada kata susah. Bahkan yang susah pun bisa jadi ringan “
Aku mengangkat bahu. “ If she’s amazing, why don’t you make her your gf? “
“ Karena aku nggak bisa mutusin Seyla begitu saja,” sahut Jez tersenyum. “ Seyla baik-baik saja dan kami nggak punya masalah. Gimana mau aku putusin? “
“ Lha terus Lea? “ Tanyaku.
“ TTM laaah, “ sahut Jez ringan.
Melihat wajahnya yang berseri-seri, aku jadi iri padanya. Apalagi kalau teringat Lea, bertambah-tambah rasa iriku.
Jez tak lebih baik dari aku, dari segi manapun. Karirkupun lebih cemerlang dibanding dia. Tapi kenapa dia bisa seberuntung itu mendapatkan dua perempuan sekaligus? Pertanyaan menggantung itu membuatku kesal dan makin memikirkan Lea. Semakin lama, bayangannya makin sering menghantuiku. Saat di kantor, di jalan, di rumah, bahkan saat sedang berduaan dengan Tyas. Dan parahnya lagi, aku mulai membandingkan Tyas dengan Lea. Tyas-ku masih seperti yang dulu, muda, manis, penurut dan tidak neko-neko. Tidak ada yang salah dengannya dan aku sangat beruntung mendapatkannya. Sepadan dengan seluruh huru-hara yang telah kami lalui bersama, sepadan dengan teriakan caci-maki ayah dan kedua kakak laki-lakinya dan tamparan yang pernah kuterima dari mereka.
Tapi aku juga tak kuasa menahan hasratku pada sosok Lea yang semakin lama semakin kuat menarikku dengan pesonanya. Perasaanku sangat kuat untuk bisa mengatakan, aku jatuh cinta pada pandangan pertama. Bahkan mengalahkan rasa bersalahku pada Tyas yang begitu setia padaku. Kalau aku cukup waras untuk mengakui hal ini, apakah aku juga cukup waras untuk meredamnya? Atau bahkan cukup gila untuk mengejar khayalanku tentang Lea dan mendekatinya, berusaha mendapatkannya. Lalu apa?
Sampai malam Minggu kedua, seperti biasa, komunitas mengadakan acara karaoke bersama. Biasanya aku enggan ikut, karena aku nggak bisa nyanyi dan Tyas juga nggak suka. Tapi keinginanku yang begitu kuat untuk bertemu lagi dengan Lea, membuatku ingin datang. Aku beruntung Tyas memilih nonton teve dirumah dan menyuruhku pergi sendiri. Maka kutinggalkan dia sendiri dirumah, dengan sedikit rasa bersalah dan segunung kegairahan membayangkan sosok Lea dipelupuk mataku.
Dan benar, disana ada Lea, memakai legging hitam dan blus rajut merah darah yang terlihat kontras dengan kulitnya yang berwarna gading. Dia sedang tertawa-tawa dengan kelompok yang sudah kukenal baik, anak-anak komunitas. Sementara Jez tak bisa berada didekatnya karena Seyla yang sudah kembali, menempel terus padanya. Bisa kulihat sesekali Jez mencuri pandang kearah Lea. Sedangkan perempun itu seperti tak peduli, asyik ngobrol dengan serunya.
“ Kesempatan,” pikirku. Tanpa menunggu lagi, aku ikut nimbrung dikelompok itu. Ikut kasih komentar, ikut jahilin yang nyanyi-nyanyi, ikut bercanda. Sampai akhirnya aku berhasil duduk tepat disamping Lea. Mencium bau khas parfumnya dan tak tahan untuk tidak meraih tangannya diam-diam, tanpa setahu yang lain.
Dia tak menolak, bahkan bersandar dibahuku dengan santai. Aku nyaris tak bisa menahan gejolak didadaku, sementara tak ada yg memperhatikan. Mungkin karena cara Lea yang betul-betul biasa, memperlakukan aku sama seperti yang lain. Sesekali dia memeluk Gail atau Reno dan mencium pipi mereka, memperlakukan mereka seperti saudaranya sendiri. Aku tak melihat tatapan nakal dimatanya,hanya ada adalah tatapan sejuk yang bersahabat. Rasa nyaman menjalari seluruh tubuhku. Susah payah kutahan diriku untuk tidak memeluk dan mnciumnya. Tahukah dia betapa aku menginginkannya?
“ Lea, giliranmu,” Reno mengangsurkan mike ditangannya.
Lea menyambutnya dan menyanyikan salah satu lagu lama dengan suaranya yang ternyata lumayan, setidaknya diantara yang ada disitu, dia cukup menghibur.
“ Aga, ikut gue beli rokok diluar, yuk. Disini harganya mahal,” Ozy mencolekku.
Sebenarnya aku enggan, tapi akhirnya beranjak juga mengikutinya.
“ Kamu suka Lea, ya? “ Tanya Ozy tanpa basa-basi, ketika kami berada didepan sebuah warung dipinggir jalan.
Aku menyembunyikan rasa terkejutku dengan menyalakan sebatang rokok. Ternyata ada yang memperhatikan.
“ Dia milik Jez lho, sahabatmu sendiri,” katanya lagi sambil nyengir. “ Kamu sih nggak pernah ngumpul, jadi nggak tahu apa yang terjadi “
“ Seyla? “ Tanyaku menatapnya.
“ Kayaknya siy tahu, tapi selama Jez masih bersamanya, Seyla nggak bisa apa-apa. Dia lebih takut ditinggal Jez. Apalagi Lea sepertinya juga nggak minat untuk merusak hubungan mereka. Dia terlalu bebas untuk terikat, padahal yang naksir banyak.” Jelas Ozy panjang lebar.
Otakku berputar keras. Kalau dia terlalu bebas untuk terikat, berarti dia bukan milik siapa-siapa. Berarti dia masih bisa kudekati. Apa bedanya aku dengan Jez? Lea bebas, bukan milik siapa-siapa. Pikiran itu membuatku senang.
Maka ketika acara usai, kuberanikan diri menawarkan untuk mengantarnya pulang. Kulihat ekspresi terkejut diwajahnya, tapi dia menggangguk sambil memberiku senyuman termanisnya. Aku bersorak dalam hati, lalu menggandengnya menuju mobilku diparkiran. Tanpa melihat wajah Jez, aku tahu, dia tak menyangka aku akan melakukan hal itu.
“ Rumahmu dimana? “ Tanyaku setelah beberapa saat kami berdua hanya terdiam didalam mobilku.
“ Arah Pejaten, “ sahutnya lembut.
Mata kami bertemu. Sedetik kemudian sesuatu yang diluar dugaanku terjadi, Lea mencondongkan wajahnya tepat didepanku dan tak kusia-siakan kesempatan itu. Kami berciuman, lama dan nyaris membuatku tak bisa bernafas. Ketika akhirnya dia menarik wajahnya kembali, matanya bersinar dan senyumannya terkembang lebar.
“ Itu…buat apa? “ Tanyaku terbata, bingung.
“ I think you are cute,” sahutnya enteng.
“ Kamu mencium semua yang kamu anggap cute? “ Tanyaku lagi, serba salah.
Lea tertawa terpingkal-pingkal, seakan itu pertanyaan paling lucu yang pernah dia dengar.
“ Kamu pasti nggak percaya,” ujarnya disela tawanya. “ Cuma Jez dan kamu yang kucium dan itu dengan dua alasan yang berbeda “
Aku speechless, nggak bisa ngomong apa-apa.
“ Hmm, kamu cute dan aku suka. Tapi Jez, aku jatuh cinta padanya,” aku Lea membuatku tambah terhenyak. Jatuh cinta, ya?
“ Nggak usah komen, aku tahu Jez punya Seyla dan aku juga nggak niat jadi pacarnya, “ katanya lagi seakan tahu isi pikiranku. “ Dan kamu, aku tahu kamu juga sudah ada yang punya. Jadi jangan banyak mikir lagi, anter aku pulang seperti tawaranmu tadi “ Lea tertawa renyah. Tangannya menyapu rambut panjangnya, nemebarkan harumnya yang khas.
Aku ikut tertawa dan segera menjalankan mobilku. Pikiran dan perasaanku sama-sama tak karuan, bercampur aduk jadi satu. Begitu banyak yang tak kumengerti tentang perempuan yang satu ini, begitu banyak yang ingin kutanyakan. Tapi sepertinya dia tak memberi kesempatan. Dia malah berceloteh tentang segala macam, tentang komunitas, tentang anggota yang terlibat didalamnya, tentang semua kegiatannya. Tanpa sedikitpun menyentuh kehidupan pribadinya, atau menanyakan padaku tentang diriku. Tapi harus kuakui, Jez benar, she’s amazing. Suaranya yang riang seakan tanpa beban, membuatku yang tadinya grogi dan serba salah, jadi sedikit rileks.
Memasuki daerah Pejaten, Lea mulai sibuk mengarahkanku untuk belok sana, belok sini dan akhirnya setelah entah berapa kali belok, dia minta berhenti disebuah rumah mungil berlantai dua.
“ Ini rumahku, Ga. Masuk dulu, yuk,” ajaknya sambil tersenyum manis. Langsung membuka pintu mobil dan menuju pagar rumah.
Tak ada yang bisa kulakukan selain mengikutinya masuk ke halaman sempit yang agak berantakan, dengan ceceran daun-daun kering dimana-mana. Disudut malah bertumpuk beberapa sepatu, dengan sembarangan, semua model keds laki-laki beraneka rupa.
“ Masuk, Ga,” Lea berbalik, memandangku sambil membuka pintu rumahnya. “ Jangan kaget, rumahku berantakan banget,” dia terkikik.
Nggak salah memang. Isi rumahnya juga tidak rapih dan terkesan seadanya. Banyak barang bertumpuk begitu saja tanpa dirapikan. Diatas sofa satu-satunya yang kusam, ada remote control, joy stick games dan buku-buku berserakan. Aku harus membereskannya dulu sebelum duduk. Ketika kuedarkn pandanganku, kurasakan hawa yang muram disitu. Berlawanan dengan kepribadian Lea yang riang dan hangat. Inikah dunia-nya yang sebenarnya?
“ Maaf, Ga…disini gak ada ceweknya,” ujar Lea tertawa. Dia masuk ke satu-satunya kamar disitu. Aku nggak ngerti apa maksudnya.
Tak lama dia keluar, sudah berganti baju. Kali ini dia bercelana pendek dan tank top, memperlihatkan tubuhnya yang membuatku menelan ludah. She’s so sexy.
“ Kami hanya bertiga, aku dan kedua adikku yang semua laki-laki,” katanya sambil duduk disampingku. “ Mau minum apa? “ Tawarnya.
“ Nanti sajalah,” sahutku. “ Eh, kamu kan perempuan, tapi kamu bilang tadi dirumah ini nggak ada ceweknya “
Lea tertawa lepas. “ Aku sih cewek jadi-jadian, Ga. Kita sudah nggak punya orangtua, makanya aku harus jungkir balik membiayai kuliah adik-adikku “
Jadi begitu? Dibalik kehangatannya, semua keceriaannya, dia memikul tanggungjawab yang berat. Berapa usianya? Mungkin sama denganku, atau malah dibawahku, tapi bebannya jauh melebihi yang harus kutanggung. Kupandangi wajah manis yang selalu mengganggu tidurku. Dia asyik menceritakan apa saja dengan suara ramai diselingi tawa renyahnya, kebanyakan tentang adik-adiknya. Hanya setengah-setengah kudengarkan ceritanya. Aku lebih suka memperhatikn caranya bicara, caranya tertawa dan pedar-pedar cahaya matanya. Semuanya asli dan tidak dibuat-buat. Terlihat dia menikmati sekali hidupnya, apapun adanya itu. Tak disangkal lagi, aku terjatuh makin dalam pada perasaanku terhadapnya. Perasaan yang menuntunku untuk berlama-lama disitu.
Beberapa waktu kemudian, kedua adik yang ternyata kembar, datang. Yang satu, Mika, sama ramenya dengan Lea. Sementara yang satunya lagi, Gabe, lebih pendiam. Tapi kita berempat langsung kompak seperti sekelompok yang sudah lama berteman, yang main game PS 2 dengan sangat meriah. Lea benar, ini seperti sekelompok cowok ngumpul n saling bersaing tanpa satupun yang mau mengalah. Bahkan Lea juga, secara tampilan perempuan sekali, tapi kelakuannya nggak beda dengan kedua adik laki-lakinya, nggak sudi kalah. Yang membedakan, disela-sela jeda waktu, dia sempat menyediakan makanan kecil dan capucino instant. Kami bermain seru, tak ingat waktu dan aku lupa pulang.
*
Kubuka mataku pelan, karena sinar mentari yang menerobos masuk lewat celah tirai yang sedikit terbuka. Sesaat bingung memandangi langit kamar yang tampak asing. Makin bingung ketika menyadari, seseorang memelukku sambil masih tertidur dan itu bukan Tyas. Gerakan kagetku membuatnya terbangun.
“ Selamat pagi, Aga…” Suaranya lembut menyapaku.
Aku menatapnya tanpa bicara. Mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Ketika seluruh kesadaranku mulai terkumpul, kurasakan seluruh darahku menghangat. Aku berbohong pada Tyas, demi untuk bersama perempuan yang kini bersamaku.
Dia beranjak bangun, kutarik tangannya dan kubawa dalam pelukanku.
” Mau kemana? ” Tanyaku.
” Bikin sarapan,” sahutnya penuh senyum.
” Nanti saja, ” kataku lagi.
Dia menggeleng, masih tersenyum, mencoba melepaskan diri dari pelukanku.
” Dua mulut bawel dikamar sebelah nanti teriak-teriak kalau nggak ada sarapan, ” ujarnya.
” Ini kan hari Minggu, ” protesku.
” I’ll be right back ” Dia mencium bibirku sekilas dan berlalu.
Masih tertinggal aroma khas tubuhnya. Tubuh yang kunikmati setiap jengkalnya malam tadi. Dia membawaku melayang jauh dan tak ingin kembali. Meninggalkan seribu rasa yang tak sama seperti kalau aku bersama Tyas.
Sesaat kemudian akupun beranjak keluar kamar, mendapati si kembar yang duduk didepan teve. Mereka menoleh sejenak padaku, lalu tak peduli lagi.
“ Ga, mau pancake, “ Lea datang membawa piring berisi setumpuk pancake yang langsung diserbu Mika dan Gabe.
Akhirnya berempat menikmati pancake hangat dengan saus coklat. Lea tetap perempuan, dari caranya memperhatikan segala sesuatunya. Aku makin ’tenggelam’ dalam pesonanya.
*
Semalam bersama Lea, ternyata membawa perubahan besar dalam hidupku. Aku tak lagi peduli pada cinta Tyas dan segala pengorbanannya. Aku lebih sering sibuk dengan diriku dan sekali-kali mencuri waktu untuk bercumbu dengan Lea.
Sepertinya Tyas tahu, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Apalagi diapun tak mungkin kembali kerumah orangtuanya. Aku jadi seperti diatas angin, sementara Leapun tak menuntut apa-apa dariku. Si cantik itu memang selalu bebas, lepas, tanpa ikatan.
Kutatap Tyas yang matanya seperti masih terpaku pada teve, entah pikirannya. Sudah seminggu ini kami tak lagi bermesraan dan dia hanya diam tanpa protes apa-apa. Hatiku sendiri seperti beku dan tak lagi tertuju padanya.
Telepon rumah berbunyi. Aku tak berminat mengangkatnya. Tyaspun tak bergeming. Akhirnya bik Sumi pembantu yang hanya datang dua kali seminggu untuk cuci-setrika dan kebetulan belum pulang, yang mengangkat.
" Mbak Aga, ada telepon dari mbak Jez," kata bik Sumi kepadaku.
Aku beranjak kearahnya. Masih sempat aku menoleh kearah Tyas dengan perasaan heran karena dia tak juga bergeming. Ada butiran bening jatuh dipipinya. Tapi aku tak peduli.
" Ya Jez? " Kataku ditelepon.
Kudengar suara khas Jez yang dengan marah menanyakan hubunganku dengan Lea. Kepalaku terasa berputar. Bergantian wajah cantik Lea dan linangan airmata dipipi Tyas, muncul dikepalaku. Tapi hasratku melebihi segalanya. Lea telah mengikatku dan aku rela kasmaran.
" She's not yours, Jez " Desisku tak peduli. Juga tak peduli ketika lewat sudut mataku, kulihat Tyas memandangku dengan airmata yang makin banyak tertumpah.
Aku ingin segera memeluk Lea dan mencumbunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar