Kamis, 14 April 2011

Dia, Aku dan Mati

Akhirnya, aku hanya bisa melihat gadis berusia 15 tahun itu terus mendekam di kamarku yang gelap dan bau. Tak punya kuasa untuk beranjak, namun mulutnya terus berkomat-kamit. Terhembus kata-kata seperti tikaman jarum jahit ke sela-sela kulitku.
Aku tidak ikut mati dibuatnya! Hanya tetap saja akhirnya aku merasa mati. Kau tahu bagaimana keadaan seperti itu? Kau tidak mati tapi kau mati!
Tiap pagi aku harus mengantarkan sarapan padanya. Memberi dia minum. Tidak lupa mencucikan pakaiannya. Kadang, jika aku tidak sempat melakukan itu semua, yang ada hanyalah bau busuk dan tikaman-tikaman yang diciptakan oleh bibir tipisnya itu.
Ya, bibir tipisnya! Kurasa dia menyadari bahwa saat ini adalah saat masa kejayaan dari bibir tipisnya harus sirna. Dia bukan lagi terang dan juga bukan gelap. Dua masa yang telah dilewatinya. Lalu, sekarang dia apa? Aku pun tak bisa memberi definisi akan dirinya. Bukan tak bisa saja, aku tidak layak!
Orang mungkin melihatku sebagai terang dari dulu hingga sekarang. Namun kau pasti tidak akan pernah tahu, ya bahkan ketika aku mengatakan aku gelap, kau hanya menggeleng-geleng kepalamu. Kau hanya akan menganggap gelap itu adalah dia.
“Dia tidak gelap!” Teriakku pada semuanya. Bukan! Aku tidak sedang berteriak, aku hanya mengucapkan dengan nada rendah namun memiliki tanda seru. Sekarang apakah kau percaya akulah si gelap itu?
“Bersabar…” Itu mungkin yang keluar dari mulutmu.
Sekali lagi, aku diyakini sebagai terang, terang yang mulai redup namun masih dilindungi, agar aku tidak benar-benar mati. Sementara dia! Dia tidak ada yang menguatkan. Tidak, tidak. Ada banyak yang menguatkan dia. Namun, pada waktu dia terang.
Ketika dia mulai gelap karena sesuatu. Wajah-wajah yang ada hanyalah yang mengernyitkan kening kemudian mulut-mulut mereka mulai berkoak-koak, bibir hanya bisa mencibir. Ingin sekali kutinju wajah-wajah malaikat itu! Mereka sama sekali tidak tahu. Dan, mereka telah menutup telinga mereka hanya karena mata mereka sudah melihat.
“Apakah Tuhan hanya menciptakan mata untukmu?” Ingin sekali kulontarkan kalimat itu ke muka mereka. Baukah kau rasa ucapanku ini karena aku membawa-bawa nama Tuhan? Hey, aku tidak membawa nama Tuhan padamu. Kau tidak tahu kan Tuhan mana yang kumaksud? Ada banyak Tuhan di dunia ini, mungkin aku juga adalah Tuhan!
Akh! Tapi, semua kataku yang keluar tadi mungkin hanya bisa menjadi sebuah tulisan, tulisan yang mungkin tidak akan kalian baca. Karena bukankah aku terang? Walau aku bilang aku gelap, itu adalah untuk menandaskan bahwa aku terang.
Kurasakan kembali keberadaan gadis itu dibalik pintu yang sedang kugembok. Hanya aku yang menyadari dia ada. Yang lain tidak. Biarlah mereka tidak tahu keberadaannya lagi. Mungkin ini yang terbaik. Biarlah dia menjadi duri dalam dagingku walau sebenarnya aku juga mencintainya. Perasaan apa ini? Aku juga tak tahu. Aku tak sanggup melakukannya. Dan aku tak sanggup mendeskripsikannya. Akhirnya yang ada hanyalah sirat bukan surat.
Tersirat? Aku tanya lagi pada mataku di cermin itu. Apakah mataku mencerminkan ini semua? Mungkin! Tapi, itu hanya saat aku melihat ke cermin. Aku gelap! Sekali lagi mencoba menegaskan. Kau tak akan pernah tahu aku akan apa lagi…
Aku yang sekali lagi mulai mencintai duri yang adalah kehampaan itu. Mencintai? Apakah aku benar mencintanya atau? Ini adalah kali berikutnya aku harus mengatakan bahwa aku gelap! Ini kali berikutnya juga kau tak akan percaya, kau akan selama-lamanya menganggap aku terang. Kemudian ini kali berikutnya lagi terang semakin ditegaskan pada diriku yang gelap tetapi juga terang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar