Minggu, 17 April 2011

UDAH, NYERAH AJA!

awan hitam itu membuat suasana luar tampak gelap . Aku memandang gita yang terus mencoba dan mencoba meniup ban sepedahnya yang kempes. Itu tampak mustahil bukan?. Seorang albert Einstein pun, tak mungkin bisa membuat ban sepeda Gita menjadi menggelembung dan normal seperti semula. “Git, ayo!! Lo ngelakuin hal yang bego banget tau gak?!. Ayo, aku boncengin! Udah mau hujan nih!!”. Aku memaksa Gita Namun Gita tetap saja berusaha meniup ban sepedahnya, dan tak menggubris aku. Aku hanya pasrah. Berharap semoga keajaiban datang. Ingin sekali aku meninggalkan Gita di sini, karena tawaran boncenganku sudah ia elak. Namun, ketika mengingat persahabatanku bersama gita, aku tak bisa lakukan itu. Aku mencoba menelpon beberapa temanku untuk membantuku disni, namun sialnya, tak ada sinyal. ”Git!! Kamu tunggu di sini sama aku. Kita nebeng orang yang lewat aja”. ”Aalaahhh, ini pedesaan, udah sore gini, mana ada orang lewat. Di coba dulu kenapa sih!? Kalau entar cuma nunggu gak bakalan ada hasilnya. Kalau kamu boncengin aku naik sepedamu, entar sepedaku gak ada yang nemenin”. Jawab Gita yang masih mencoba untuk meniup ban sepedahnya yang kempes. ”AAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRRGHHHH!!!”. Aku berteriak sekencang – kencangnya. Hingga duri – duri kekesalanku ini dan ketidak sabaranku ini bisa lepas satu demi satu. ”Kenapa lo? Teriak – teriak? Berisik tau gak?”.tanya Gita nyerebot Aku hanya memberikan senyum basiku kepadanya. Sungguh ini adalah hari yang menyebalkan. Awalnya aku merasakan bahagia, bisa bersepeda di daerah pedesaan bersama sahabat lebaiku itu. Biarpun lebai tapi dia tetap sahabatku. Namun, gara – gara ban Gita yang kempes dan suasana mendung yang tidak mendukung, hari ini benar – benar ‘sad ending’. Aku menyandarkan tubuhku di gubuk, mencoba mencari kesibukan sambil menunggu sahabat lebai dan anehku menyelesaikan misi gilanya. Aku membuka tasku dan mencari – cari novel yang baru aku beli 2 hari yang lalu dan belum kelar aku baca. Namun, lama – lama mataku tak bisa di buka lagi, mataku demo ingin segera di tutup. Rasa lelahkupun memaksaku untuk segera tidur. Tidur dalam gelapnya suasana sore ini. .... Terik mentari tiba – tiba menyapaku ketika aku mencoba untuk membuka mataku. Aku tak sadar aku ada dimana. Ku coba tuk mengingat – ingat kejadian sebelum aku membuka mataku. Tapi, satupun memori tak bisa ku tangkap. Ku coba untuk memandang sekelilingku, di antara pandangan – pandanganku, aku melihat seorang perempuan sebaya denganku, tergeletak tidur di samping sepedaku. Langkahku-pun tertuju pada perempuan itu. ”Gita?”. Masya allah, aku baru teringat semalam aku ternyata tertidur disini, gara – gara menunggu Gita melakukan ide gilanya. Yang aku bingungkan, bagaimana bisa, Gita membuat bannya menjadi gembung begini. Ah, gila. Sesemangat itukah Gita? . Aku berfikir sejenak, Gita meniup ban itu menggunakan mulutnya, so, bagaimana keadaan mulut gita? Monyongkah? Ndowerkah?. “Bego banget! Di saat dramatis seperti ini, bukannya segera membangungkan Gita. Malah berfikir yang aneh – aneh”. Gerutuku dalam hati Aku mencoba untuk membangunkan Gita, aku pegang bahunya dan memanggil – manggil namanya, tiga kali mungkin cukup. Ah, Gita terlalu kecapekan mungkin. Jadi, aku biarkan saja Gita menikmati tidurnya. Sementara itu, ku coba untuk meng-aktifkan ponselku dan menelpon beberapa temanku. Awalnya aku ingin menelpon papa dan mama, tapi percuma saja, mereka pasti tak akan bisa membantu, mereka pasti sibuk dengan pekerjaanya di luar kota. “Oh ya, Kak Ervan pasti dia bisa bantu”. ‘maaf pulsa anda tidak cukup untuk melakukan pemanggilan ini, silahkan isi pulsa anda..’ Sial! Pulsaku habis. Walaupun mentari sudah mulai cukup bersinar, dan mampu menghangatkan suasana pagi ini, namun angin yang berhembus masih membuat tubuh ini menggigil. Kejadian ini benar – benar tak ku duga. Kejadian yang benar – benar seperti mimpi malamku. “Gita! Gitaa!!! ”.Ku coba percikkan air di muka gita, berharap semoga ia bisa bangun. Karena tak ada jalan lain untuk bisa pulang kerumah selain membangunkan Gita, dan segera meninggalkan tempat primitive ini.Aku mencoba berfikir positive saja, ku percikkan lagi air dari botol air minumku. Namun, Gita belum juga terbangun dari tidur. Tidur ? , atau mungkin dia? . sekali lagi aku mencoba untuk berfikir positive saja.Lama – lama aku jadi berfikiran yang aneh – aneh, mau bagaimana lagi, dunia imajinasiku memaksa untuk berfikir seperti itu,“Gita, .. kenapa lo tinggalin gue secepat ini. Mana, lo matinya gak pas banget! Di jalan? Aduh, akhir hidup lo tragis banget ya?”.“Gitaaaa, bangun Git!!!”. Air mataku mulai mengalir deras, sederas air terjun Niagara,“Gitaaaaaaaaaaaaa,…”. Aku pasrah, kaki ku berlari sedikit menjauhi Gita, menyandarkan tubuhku di pohon dekat gubuk. Aku tak sanggup menerima kenyataan pahit ini. Tubuhku lama – lama bergetar, menggigil. Aku ingin marah kepada Gita, tapi jika itu ku lakukan, itu adalah hal terbodoh. Percuma saja, Gita sudah tiada, hanya tubuhnya yang tergeletak di pinggir sepedahku sana. Aku harus apa ini? . dan, sebenarnya aku ada dimana?. Huh, hanya Gita yang mengetahui seluk beluk daerah ini, karena dia yang mengajakku berseppeda kemariAku mendekap tubuhku erat – erat, dan masih menyandarkan tubuhku di pohon besar. Air mataku pun masih mengalir. Antara sedih karena terlantar di sini sendirian apalagi dengan mahluk tak bernyawa, dan bingung apa yang harus aku lakukan.”hahaha . . .”.Ah, suara apa itu?. Siapa yang tertawa?. Tega – teganya tertawa di atas kesedihan dan penderitaanku. Aku mencoba kembali memandang depan, samping kanan dan kiriku. Tak ada siapa – siapa. Hatiku semakin campur aduk. Aku ini kan penakut, tega – teganya hantu (jika mungkin yang tertawa hantu) menakut – nakutiku di kala gundah begini.Aku membalikkan badanku kebelakang, hendak berlari mengambil sepedaku. Tapi, ”AAAAAAAAAAAAAAARGHHH”. Aku berteriak.Gita. Ya, Gita membalikkan badannya ke samping pas di depanku dan masih tergeletak sambil tertawa melototiku. Benar – benar ,mirip seperti hantu kuntilanak di film – film itu. Aku kembali berada di balik pohon besar, mendekap kembali tubuhku erat – erat dan tak ingin membalikkan tubuhku dan kembali melihat Gita yang mungkin masih melotot lebar seperti kuntilanak“Ha ha ha ha “. Suara gita kembali terdengar.”Mbak, Kunthi. Tolong jangan masuk dalam tubuh Gita. Kasihan dia! Paling kasihan juga aku!”. aku mulai angkat bicara. Mungkin ini adalah pengalaman pertama dan terakhirku berbicara dengan mahluk Ghoib. Pertama dan terakhr. ya, terakhir karena mungkin saja, setelah ini aku juga seperti Gita yang terlantar di sini berhari – hari, kelaparan, dan akhirnya mati.”Ditaaaaaaaaaa”.Tiba – tiba ada yang berbisik di telingaku dan menyentuh bahuku. Tubuhku semakin bergetar, jantungku semakin berdetuk cepat, dan aku kembali menjerit.”AAAAAAAAAAAAARGH! KUNTI”.”hahaha, lo sekarang ikut – ikutan lebai ya, kayak gue”.Ih waow, siapa itu? Kuntilanak itu suaranya persis seperti Gita. Aku tak melihat wajahnya, karena aku masih mendekap tubuhku erat – erat dan menundukkan kepalaku. Tapi, alam bawah sadarku memaksa untuk sedikit mengintip.Dan, akhirnya ku pandang tubuh Gita, yang kini berdiri persis di depanku.”Haha, ngapain Ditaa, kamu gitu! Siapa kuntilanak? Enak aja, bilang aku sudah mati!”.”Loh, bukannya kamu sudah . .”.”Ah, Dita terlalu banyak berimajinasi. Positif gak apa – apa, negative sih kamu!”.“Ih., dasar kamu ngerjain aku”.”Yee, sebenernya tadi kamu pangil – panggil namaku aku sudah bangun, kamu sih, mendadak langsung berpikiran negative. Ya sudah, aku biarkan saja. Aku pengen liat seberapa takutkah kamu. Dan ternyata bener kan , kalo kamu penakut. Dan kamu harus mengakui aktingku ini, bener – bener TOP!”. Lalu, Gita kembali tertawa terbahak – bahakHuh! sial!Aku tetap diam saja. Kalau seperti ini, aku lebih senang membiarkan Gita menyelesaikan ocehannya. Gita melangkahkan kakinya ke gubuk dan mengambil tas milikku dan miliknya, kemudian duduk di sebelahku dan mengeluarkan makanan dari dalam tasnya. Tanpa basa – basi , aku rampas makanan itu. Aku lahap beberapa roti dan ku minum segelas susu botol yang Gita bawa. Tak masalah bagiku, karena Gita membawa banyak bekal. Waow! Kenyang!Aku kembali membiarkan Gita ribet sendiri dengan barang – barangnya. Namun, lama – lama aku jadi bingung, apa yang di cari Gita di dalam tasnya itu?“Nyariin apa sih Git!? Makanannya kan udah kamu keluarin semua?”.Tiba – tiba , ...”Nah, ini dia! Lihat deh, ini apa?”. Gita menatapkan handphonenya di depan mataku. ”Itu ponsel! Anak TK mah, juga tau kali Neng kalo itu ponsel. Yang gak taunya kalo itu ponsel milik orang seperti lo!, haha “. Aku tertawa melihat tingkah laku Gita.”Ah, lo-nya yang Bego! Udah tau ini lihat pulsaku”. Gita melihatkan laporan jumlah pulsanya ke padaku. Aku jadi bingung, ”Lha, trus? “.“Ah, Dita! Jangan pura – pura bego deh! Tadi lo, kenapa gak pakai ponsel aku, nelpon siapa gitu, untuk bantu kita keluar dari sini! Pulsa mu habis kan?”.”Eh, iya – iya”. Aduh, ekspresiku terlihat emang aku bego banget!Gita tersenyum melihatku, lalu melanjutkan sarapannya. Aku melihat jam ku, pukul sembilan pagi. Tapi kok sepi gini ya? ”Git, kita ada diamana sih?”.Gita tak menjawab.”Gita, kamu kan yang ngajak aku kesini? Pastinya kamu tau kita dimana?”.Gita tak menjawab dan masih melanjutkan sarapannya yang masih dua sendok lagi. Akhirnya aku mengambil sepeda Gita dan menjejerkan di sebelah sepedaku.”Trus, ini, pakai apa kamu? Sekuat itukah kamu, niup bannya sampai menggelembung begini?”.Gita masih diam , dia memebereskan makananya dan memasukkan makanan dan minuman lainnya yang belum termakan di dalam tasnya. Lalu, ia menyandarkan tubuhnya di pohon besar, dan menatapku kembali.Tatapan Gita benar – benar menakutkan, seperti tadi tatapan kuntilanak dengan mata benar benar melotot, namun ekspresi wajahnya wajah – wajah lemas,lesu, letih, dan sebagainya. Akupun tak berani menatapnya, ku coba untuk menaiki sepedahku, hendak berjaga – jaga jika Gita itu bukan Gita melainkan kuntilanak beneran, jadi aku bisa kabur dengan sepedahku ini.”Gita?”.Aku mencoba menatapnmya sedikit demi sedikit, tapi Masya allah! Aku kabur dengan sepedaku, meninggalkan Gita atau kuntilanak itu. Ku kayuh sepedahku kencang – kencang. Bayangan wajah Gita yang melotot dan menyeramkan itu terbayang – bayang di dalam fikiranku. Namun Tiba – tiba seseorang juga mengayuh sepedah dan saat ini berada setara di sampingku. Aku tak berani menatapnya, dan ku kayuh lebih kencang lagi sepedaku. Tapi, lagi – lagi seseorang itu seperti mengejarku dan ingin mengatakan sesuatu.”Dita!”.Aku berhenti di sebelah sungai yang mengalir deras. Oh, ternyata Gita. Kini wajahnya kembali seperti semula, yang tak membuatku takut.”Hei, kamu ini gimana? Tadi kamu nanyain aku, aku mau jawab, tiba – tiba kamu main kabur aja”. Kemudian, Gita memberikan tas kepadaku, ”Ini tas mu!”.Aku semakin tak percaya, apa dia tak sadar. Bahwa, dia menatapku begitu menyeramkan. Dan tatapan menyeramkan itu berlangsung cukup lama.”Tapi, Git . .”.”Udah yuk! Kita balik pulang. Perjalananya sekitar satu jam setengah, ya itu kalo kamu mau cepet”. Gita mengelakku, ia langsung mengajakku pulang. Dan, aku mengiyakan itu, karena aku juga ingin cepat – cepat pulang. Namun, aku masih penasaran dengan tatapan Gita dan bagaimana ia bisa meniup ban sepedahnya dengan mulut dan nafasnya itu!. ”Impossible”.Pikirku dalam hati.
SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar