Kamis, 14 April 2011

SEBUAH NAMA

hatiku masih berdebar-debar. Getaran ini kembali menggema setelah semuanya terlanjur. Getaran ini masih tetap sama seperti dulu. Sebelum aku bercengkrama dengan satu sosok dan memilihnya sebagai pasangan hidupku. Dan rasa ini tiba-tiba menyergapku. Tak hanya menyergapku malah. Bahkan rasa ini mulai singgah lagi di hatiku. Lagi dan lagi.
Ruang hatiku pun terbagi lagi. Inilah susahnya. Padahal selama dua tahun ini, aku membuka hatiku hanya untuk pasangan hidupku. Hanya dia tempatku berbagi. Aku dan dia saling melengkapi. Kami berbagi banyak cerita meskipun aku yang mendominasi topik perbincangan kami. Banyak cerita beda topik yang kami bagi bersama. Kehidupan sehari-hari, bisnis, ekonomi, politik konspirasi, sejarah, alam, spiritual, demo, kriminal sampai masalah-masalah yang menjurus terlalu wanita. Dia mengerti dan paham betul dengan apa yang ingin kutuangkan.
Ide brilian.
Semangat.
Satu yang kusuka dari pasangan hidupku ini, adalah semangatnya. Banyak nasehat yang ia rangkum dalam sebuah cerita. Brilian, dia bilang. Maka dari sebuah ide gila dariku dan sedikit bumbu asa yang terpendam, aku memuntahkan di depan pasangan hidupku itu. Jika sudah terlarut dalam pengembangan ide brilian, aku sering melupakannya. Oh, Cody… maafkanlah aku. Aku sudah mengkhianatimu. Dan sekarang, aku seribu kali lebih mengkhianatimu. Tiada lagi ide brilian yang kubagi denganmu sejak dua minggu yang lalu. Karena ada dia. Ada dia yang datang lagi.
Cinta itu datang lagi setelah lama meninggalkanku. Sialnya, dia adalah cinta yang sama dengan cintaku terdahulu. Tentunya, dengan orang yang sama. Laki-laki yang sama. Oh, aku bingung harus berbuat apa? Aku takut terlalu bahagia. Tapi aku juga takut terlalu sedih. Aku tak mau memilih keduanya. Dan semoga saja keputusanku benar adanya. Bahwa aku memilih dia. Bahwa aku meninggalkan Cody untuk dia. Hanya dia yang aku cinta. Cinta lama yang datang lagi.
Laki-laki itu masih sama seperti dulu. Dia masih saja mempesona dengan sex appeal-nya yang kuat. Aku hangat bersamanya. Ketika ia menggamit tanganku, aku merasakan getaran hati yang lebih kuat. Ketika ia mendekapku kuat-kuat dan hampir meremas tulang rusukku, aku sangat bahagia. Semuanya tak tampak klise lagi. Segalanya nyata. Aku harap tetap demikian sampai kapan pun.
Dia masih sering bercerita tentang kecintaannya terhadap Bimasakti. Entahlah, kenapa ia sangat mencintai galaksi tempat di mana matahari menjadi salah satu bintang terbesar di sana. Ada seratus milyar bintang di sana. Dan dia tak jemu menamai satu persatu bintang-bintang itu. Mungkin aneh bagi kebanyakan orang. Ya bayangkan saja, ada beribu-ribu juta bintang dan dia memberi nama satu persatu dengan sabar? Hahaha.. lucu sekali. Namun itulah yang selalu aku rindukan darinya. Obsesi gilanya selalu membuatku rindu.
Bersamaan dengan menamai sebuah bintang, ia akan berseru riang seperti anak kecil, “Oh lihatlah, bintang itu tersenyum. Sama seperti senyumanmu yang mempesona.” Aku jelas tertawa mendengarnya. Kenapa semua bintang memiliki senyuman yang mirip denganku? Ada-ada saja dia itu. Namun karena ia tekun mengada-ngada aku justru semakin menyayanginya.
“Manusia itu ibarat setitik debu,” katanya, mengutip sebuah buku yang baru saja ia baca.
Saat itu aku begitu takjub dan membenarkan perkataannya dengan mantap. Tapi hati manusia lebih dari setitik debu. Besarnya pasti lebih dari bintang, matahari atau galaksi Bimasakti yang kau cintai, timpalku dalam hati. Layaknya hatiku, hatinya, ataupun hatimu.
Cinta ini menafasiku, menghempaskanku, dan menghampiriku sekali lagi. Tidak! Beribu-ribu kali sampai aku jenuh, jengah, dan jemu. Sampai aku merasa bahwa kesempurnaan cinta tidaklah benar adanya. Huh! Bahkan sampai aku terkapar di rumah sakit karena hampir bunuh diri karena cinta. Yah, cinta. Cinta itu penyakit dan obat. Cinta berhak memilih di mana ia harus berperan di satu pilihan dengan konsekuen.
Akan tetapi aku berubah pikiran juga. Ketika ia datang, aku menyambutnya dengan bahagia. Kubentangkan kedua tanganku lebar-lebar, kupamerkan deretan gigiku yang putih dengan menyungging senyum pura-pura tiada beban, kulepas ketidakcintaanku, kuhilangkan luka ini… luka yang dia buat dan menjadikanku seorang yang tak dapat mencintai yang lain.
Aku tak tahu kenapa aku menginginkan ibanya itu. Angkuhnya dia memang menandingi gunung es tapi aku dapat dengan sangat rileks dan sabar menghadapinya. Aku bilang, mungkin sudah kodratnya demikian karena toh hukum alam tak selamanya abadi. Kini, hidupku lebih berwarna lagi. Aku tak lagi buta warna mengisi hari-hariku. Aku tak lagi se-peka dahulu yang sedikit banyak mengeluarkan emosi yang meletup-letup. Radar emosiku cepat meninjau otak dan pikiranku yang mulai berapi-api. Selanjutnya, ketenangan menstimulir jiwaku. Dan aku tak lagi seperti yang dulu. Aku yang sekarang lebih dewasa menyikapi suatu peranan kehidupan. Terlebih ketika kau hadir lagi untukku.
“Jadi apa yang kau lakukan, dua tahun terakhir ini? Lama sekali aku tak mendengar ocehanmu,” laki-laki berparas tampan dengan garis-garis wajah yang tegas dan aristokrat itu, lantas menatapku. Ia meneliti setiap inci mimik muka serius yang kuperlihatkan.
Usianya yang delapan tahun lebih tua dariku, membuatku merasa nyaman. Aku tak pernah risih berada didekatnya. Aku yang terbilang masih remaja dengan komposisi emosi yang labil dan seringkali menuai kontroversi, dapat ia handle dengan baik. Baginya, aku adalah aset penting dalam kehidupannya. Aku jauh lebih berharga dibanding aset-aset perusahaannya. Aku lebih dari segalanya.
“Kuliah seperti biasanya dan kerja sampingan,” jawabku seadanya. “Wow, menarik sekali ya? Terkadang aku justru rindu dengan ambisi-mu. Kamu tak pernah luput dari ingatanku, Evelyn…” dia menyesap secangkir espresso-nya. “Aku kangen kamu.”
Aku memandangnya dan tersenyum. Inilah satu kebiasaannya yang paling kurindukan. Dia dan secangkir espresso di tangannya. Kopi hitam yang diracik dari jenis biji kopi pilihan yang diproses dengan cara French Roast atau lebih dikenal dengan dark roast, adalah partner sejatinya dalam berbincang-bincang. Secangkir espresso itu tak kan pernah luput dari hidupnya. Tiap detik yang berjalan pasti ia lewatkan bersama air hitam sarat akan kafein tinggi itu. Kopi ialah pemicu kecemburuanku terhadapnya.
“Aku juga,” ucapku setengah berbisik.
Oh, mon Dieu, apa yang kuucapkan sangat kelewatan. Mengapa aku tak dapat mengerem ucapanku? Padahal aku pemilik mutlak ragaku sendiri. Mengapa aku tak dapat mengendalikan poin terpenting ini. Dia pasti mengira macam-macam. Aku tahu apa yang tersenyum di balik raut wajahnya yang tiba-tiba bersinar. Aku tahu yang maksud tatapan kedua matanya yang tajam dan menghunus jantungku dengan penuh arti itu. Itukah yang namanya cinta? Cinta yang dulu?
Ya Tuhan, aku tak kuasa menatap bola matanya yang tertuju padaku itu. Yang aku lakukan hanya menundukkan kepalaku. Aku berusaha menghindari kerlingan mata indah itu. Kedua tanganku meremas dress putih berbahan sifon crepe dengan detail pleats dan tulle halus yang kukenakan khusus untuk hari ini. Mendadak keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku. Mengapa sampai begini ya? Kencan ini bukan yang pertama kali. Sudah berjuta-juta kali aku diterjang tatapan mata itu.
“Sudah kuduga,” tembaknya.
Hah?! Apa lagi ini? Demi Tuhan, aku benci sikapnya yang menggodaku dengan ucapan-ucapan yang terlontar dari mulutnya. Mungkin menurut kebanyakan orang, itu hanya gurauan. Tapi menurutku, itu sangat berarti.
Tiga tahun penuh di SMA, aku dikendalikan olehnya. Aku disetir habis-habisan karena sikapnya yang overprotective dan posesif. Dua tahun berikutnya, aku terbebas dari kekangannya. Entah kenapa selama dua tahun itu aku malah merindukannya. Dia yang hilang dan tak pernah berkomunikasi lagi denganku setelah aku memberanikan diri untuk menyudahi semuanya. Aku berteriak bahwa aku bosan dengannya; bahwa aku ingin memulai hidup baru yang kupegang sendiri; bahwa aku ingin menjadi perempuan yang dewasa dan berdikari.
Raut wajahnya yang menimbang-nimbang perkataanku waktu itu menyiratkan bahwa ia tak rela melepasku. Kini, raut wajah itu kembali kulihat. Dia ada dihadapanku. Aku boleh berpuas hati karena ia akhirnya kembali lagi padaku. Harapan ini terkabul jua. Aku tak lagi sendiri meskipun aku harus meninggalkan Cody.
Inikah yang aku inginkan? Aku tak tahu jawaban yang pasti. Yang aku tahu, aku harus memilih satu di antara dua pilihan. Dia atau Cody. Aku tak boleh memilih keduanya. Serakah dan rasanya tak adil bagiku, baginya, atau bagi Cody. Ibarat di antara dua jalan setapak, aku tak boleh memilih keduanya dalam waktu bersamaan. Memilih satu berarti bahagia dan melengkapi, sedangkan memilih keduanya adalah tabu untuk dilakukan dan menghancurkan.
“Lihat mataku, Evelyn. Kamu terlihat tegar jika menatapku. Aku suka itu,” sebuah tangan menyentuh daguku dan memberi tekanan untuk menengadahkan kepalaku.
Aku mengangkat wajahku dengan malu-malu. Akh, menjijikkan sekali kata-kata ini. Sesekali aku mencuri pandang menatapnya. Sesekali pula aku segera mengalihkan pandanganku. Sampai akhirnya, pandangan mataku dengan dia bertemu, dan kami saling memandang sejenak. Lalu, kami tertawa renyah.
Alunan lagu Indecisive yang dinyanyikan Sova featuring Soulmate melantun indah malam ini. Kami menghabiskan sisa malam ini di sebuah jazz lounge, tempat di mana aku dan dia berjuta-juta kali kencan ketika kami masih menjalin hubungan yang levelnya di atas persahabatan belaka. Di jazz lounge mungil itu, kami mengurai kenangan yang telah lalu. Kami juga memutuskan untuk membuat sejarah lagi.
Atmosfir jazz lounge yang warm mulai tune in dengan suasana hatiku. Mulanya aku risih. Tapi lama-kelamaan aku menyukai tempat yang mengusung unsur jazz untuk main music-nya ini. Pesona interior yang simplicity dan minimalis simetris membuat chemistry tersendiri. Lebih suave, rasanya.
“Apa rencanamu selanjutnya?” tanyanya dengan pandangan yang tak lepas dariku.
“Aku…” Aduh, bagaimana bicaranya ya?
“Katakan saja. Aku sepenuhnya mendukung rencana yang akan kamu lakukan. Kamu perempuan yang berdikari, bukan?” desaknya dengan gestur rapsodi.
Dar! Apa dia bilang? Berdikari? Heiy, dia mencuri kata-kataku. Aku ingat betul kata-kataku yang menghujamnya tajam saat aku memutuskan laki-laki ini. Oh, mon Dieu,.. tak kusangka dia masih ingat. Saking terharunya, kedua mataku nanar.
“Kamu kenapa? Aku tidak sedang menyinggung perasaanmu kan?”
Aku menggeleng pelan.
“Kamu baik sekali. Aku selalu merasa beruntung di dekatmu. Terima kasih untuk semuanya,” ujarku, syahdu.
“Sekalipun kamu akan pergi lagi dari sisiku, aku akan tetap berusaha menjadi yang terbaik untukmu,” dia meraih jemariku.
“Kau tahu?” sambutku, terperangah.
“Kamu adalah perempuan berdikari yang misionaris. Sungguh hal yang tercela jika aku mencegahmu pergi untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi demi kepentingan pribadiku,” paparnya, sangat heroik.
“Dan kau rela aku pergi dengan Cody?” tanyaku sambil menyeka bulir air mata yang membasahi kedua belah pipiku.
Dia tersenyum. “Aku yakin dia bukan rival yang seimbang untukku. Dia tak sama seperti kita, sayang…”
Oh, mon Dieu, lagi dan lagi. Dia pandai sekali membelokkan kata-kataku. Dia tahu yang kumaksud. Yah, Cody memang tak sepantaran dengan kami. Dia juga berbeda jauh dengan kami atau kamu. Dia unik.
“Menurutku, beasiswa itu akan menjadikanmu seorang jurnalis yang lebih komunikatif. Aku mendukungmu 100 %!” ucapnya mantap.
Seiring dengan ucapannya, gemintang cinta kembali melantun. Melagukan tentang keindahan cinta yang nyaris tak tersentuh. Aku memang beruntung memilikinya.
***
Aku tak kan terbang sendiri lagi. Aku tak akan lagi kesepian. Kata orang, jika aku ingin terbang tinggi dan meraih bintang yang letaknya jauh sekalipun aku harus berusaha. Belajar terbang tentunya. Maka kuputuskan dengan kematangan yang benar-benar bulat untuk angkat kaki dari tanah air tercintaku ini. Aku bukannya tidak nasionalis. Tapi misi mulia ini sungguh membebaniku angan-angan yang luar biasa mempengaruhi. Aku akan pergi melaksanakan sebuah mandat yang tertuju untukku. Hanya untukku saja. Maaf, ehem… Aku boleh sombong pastinya.
Dunia jurnalistik Indonesia yang marak digembar-gembor dan naik ke permukaan setelah tonggak demokrasi reformasi digalakkan telah melahirkanku juga. Aku mengakui penuh bahwa dunia sastra pun mulai terangkat lagi. Sekarang, banyak buku, teenlit, chiklit hasil karya anak bangsa yang bertebaran dijual bebas. Aku berharap mereka tak berhenti berkarya dan putus di tengah jalan. Aku harap angkatan-angkatan sastra pun dapat lahir dengan mulus hingga habisnya jaman. Sastra dan jurnalistik bukanlah tren yang bergerak seiring jalannya globalisasi. Dan semoga tak kan lenyap termakan omongan jaman yang makin gemar menggerogoti otak bangsa.
Aku salah satu orang yang malang melintang di dunia jurnalistik. Meskipun hanya sebatas kontributor lepas yang mengisi kolom di satu halaman sebuah surat kabar, aku merupakan bagian dari keluarga besar jurnalistik. Jurnalistik, sebuah dunia yang turut membesarkan nama-nama besar.
Beasiswa dari sebuah universitas terkemuka di benua Eropa, baru saja aku setujui. Dua pekan mendatang, aku berangkat ke sana. Sungguh menyesal aku terpaksa harus pergi dengan Cody. Aku rasa aku tidak dapat lepas darinya walau pada akhirnya aku berkehendak memutuskannya. Aku tak bisa. Aku masih mencintai keluarga besar yang digeluti Cody. Sampai kapan pun; mungkin sampai aku mati dan hanya terkenang lewat tulisan-tulisanku, aku tak dapat lepas dari Cody.
Aku dan Cody ditakdirkan satu kubu. Kami berdiri atas nama sebuah perlawanan yang menentang keras lajunya pekat yang semakin tidak tabu. Suatu tipu muslihat licin pun dapat kami tuai sebagai hasil kerja sama yang baik. Jika salah satu di antara kami mundur, maka kami sungguh-sungguh bercerai. Karena kami bukanlah apa-apa jika kami terpecah. Analogi umumnya, seperti Negara Indonesia ini juga. Apalah arti sebuah persatuan dan kesatuan buah hasil perjuangan pahlawan-pahlawan terdahulu jika kita tidak dapat mempertahankan tradisi. Perjuangan adalah tradisi kita. Mirisnya, entah kenapa, gerakan separatisme dan anarki malah menjadi tren khalayak umum. Padahal dulu, kita makmur tanpa perpecahan dan kekerasan.
Akh, sudahlah. Membicarakan sebuah era baru di mana aku tak mengenalnya dengan baik, benar-benar membuatku pusing. Mungkin biarkan saja semua mengalir begitu saja. Anggap saja seperti bumbu sejarah agar rasanya tidak hambar. Mempergunjingkan masalah yang tak dikenal baik dan bukan bidangnya, akan menambah masalah saja. Pengadilan sekarang akan tambah ribet jika kita turut campur. Maka biarkan saja. Semua akan baik-baik saja. Yakinlah. Karena kita masih satu.
Malam ini, aku menghabiskan waktuku bersama Cody. Aku dan Cody berduaan hingga fajar menyingsing. Itu biasa kami lakukan pada malam-malam sebelumnya. Setelah ini, hari-hari yang kujalani bersama Cody pasti lebih berat lagi.
Aku menggeliat pelan sembari melihat sebuah kertas yang tertempel di papan memoku. ‘Deadline: Koran Senja. Hari ini! Mati aku!’ Hmm.. sudah selesai, batinku senang. Kemudian aku merapikan kertas-kertas print-out dalam sebuah map file. Sebentar lagi, map ini akan sampai ke tangan sang ambisius tukang koreksi dan pencetus tanggal mati –deadline- seenak jidat. Bram, si editor Koran Senja, tunggulah aku.
Lama aku berdiri di balkon kamar tidurku setelah menatap Cody yang kelelahan. Sama halnya denganku, mata Cody pun tinggal satu inci. Sebentar lagi, ia pasti tertidur karena kehabisan energi. Apalagi tadi malam aku lupa men-chargernya. Oh, maafkanlah aku Cody. Aku sungguh kejam karena telah menduakanmu dan mengabaikanmu.
Hmm.. Pagi ini indah benar. Selamat datang pagi!
Si bintang pembesar pun mulai menampakkan dirinya yang angkuh. Matahari, selamat pagi. Aku tak mungkin kehilangan sinarmu yang benderang itu. Kemana pun aku pergi, sinarmu pasti akan menyisir langkahku. Kecuali jika kiamat kecil menimpaku. Yakni, kematian.
Baiklah, di suatu pagi yang menawan ini, kita tidak akan membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan kiamat kecil. Rasanya kita tak mensyukuri karunia-Nya saja. Kau tahu, baru saja dia –sosok lelaki yang kembali bersandar di pangkuanku itu- menelponku dan mengucapkan selamat pagi padaku. Dia sungguh baik ya? Dan aku rasa, dialah yang nomor satu.
Sandi, nama lelaki itu.
Artifisial sekali ya nama laki-laki itu. Dia memang rumit seperti sandi. Butuh waktu cukup lama untuk memahami maksudnya. Tapi aku suka itu. Hingga akhirnya aku menetapkan pilihanku padanya. Aku bersandar penuh di bahunya. Aku meniti tiap detil perjalanan hidupku bersamanya. Dan untuk Cody yang terlupakan; kutinggalkan, maafkan aku. Cody memang bukan rival Sandi. Karena Cody bukan siapa-siapa yang nampak seperti manusia. Dia hanyalah sebuah laptop yang kubeli dua tahun yang lalu. Namun aku tak sepenuhnya meninggalkan Cody. Bukankah aku dan Cody adalah partner kerja? Sama seperti Sandi yang kerap kali bercinta dengan secangkir espresso-nya.
Sebuah nama untuk benda kesayangan adalah sesuatu yang biasa, bukan? Sandi dan Cody tetap berada di sampingku. Mereka adalah elemen penting dalam komposisi hidupku. Aku masih cukup komposmentis hingga dapat membagi rasa cintaku untuk dua hal penting itu. Dan satu, sebuah nama bukan berarti mewakili suatu makhluk hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar