Selasa, 14 Desember 2010

Cinta Terlarang

Sebut saja namaku…….RENATA…Aq seorang istri sekaligus ibu dr 2 orang anak.ARDIAN,suamiku…….seorang lelaki yg berwatak keras tp sayang dan perhatian ma keluarga,dia bekerja disalah satu perusahaan swasta yg bergerak dibid pertambangan.Kehidupan rumah tangga kami berjalan harmonis…….penuh canda,tawa,kasih dan sayang………tak pernah ad masalah

Hingga suatu saat timbullah masalah…..bermula dari perkenalanku dengan seorang pria didunia maya,sebut saja namanya…JULIAN.dr hari kehari hubungan kami semakin akrab,dari sekedar chat…smsan.hingga telpon2an…….kami sering curhat masalah yg sedang kami hadapi,hubungan kami sudah layaknya seperti orang pacaran saja.(kebetulan kami berasal dr kota yg sama,yaitu PR).Semenjak kenal dgnya ada perasaan aneh yg aku rasakan…..ad sesuatu yg membuat aku bersemangat menghadapi hari2ku……..hari2 kulalui dgn perasaan senang,bahagia,penuh arti.Aku begitu mengharapkannya,menyanyanginya,dan mungkin aku sudah jatuh cinta kepadanya.Aku sendiri bingung dengan perasaanku itu,bagaimana mungkin aku bisa begitu manyanyanginya…..sedangkan kami cuma kenal lewat dunia maya,jangankan wajahnya…bertemu dengannya pun aku belum pernah.

Tapi aku merasa begitu dekat dan sangat mengenalnya.Hari berganti hari,bulan berganti bulan…….tak terasa hubungan kami dah berjalan hampir satu tahun…hingga suatu saat suamiku ,mencium gelagat yg kurang baik dari hubungan kami…..(sebelumnya suamiku sudah tau tentang hubungan kami,sekedar teman curhat,sms dan telp saja).saat itu juga suamiku memintaku untuk berhenti berhubungan dan melupakan JULIAN….perasaanku sangat bingung,ragu,bimbang…rasa itu campuraduk berkecamuk dalam hatiku.bingung…sangat bingung itulah yang aku rasakan….antara memilih keluarga dan JULIAN.akhirnya aku memutuskan untuk memilih keluarga dan berusaha melupakan JULIAN,walau sebenarnya dalam hati aku bagitu sulit melupakannya…aku terlanjur menyanyanginya.

Setelah beberapa bulan kami tak pernah berhubungan lagi…tak pernah tau kabar masing2,entah darimana tiba2 rasa kangen itu datang….dan aku berusaha menghubunginya.Singkat cerita kami mulai smsan lagi, walau tak sesering dulu…tapi itu aku rasakan cukup sebagai pengobat rindu,pengganti dirinya…….Pembaca yang budiman,aku sadar apa yang aku lakukan itu salah dan keliru…..tapi aku juga sadar,aku nggak bisa melupakannya begitu saja…aku begitu mendambakannya,merindukannya,bahkan menyayanginya…..saat aku menulis cerita inipun aku berharap dia membaca cerita ini…….kisah ini aku tulis untuk JULIAN yang ada dikota PR.biarlah semua ini menjadi kenangan manis antara kita,aku nggak akan pernah melupakanmu…kau adalah bagian dari kisah hidupku…TERIMA KASIH…

Seharusnya Kau Pergi

“Aku nggak tau, maunya kamu itu apa. Udah jelas-jelas Fery itu suka banget sama kamu, sayang dan perhatian. Kenapa sich dia kamu putusin,” tanya Jeni yang nggak habis pikir tentang kelakuan Ega.
“Aku nggak suka sama dia,” jawab Ega lantang
“Kalau kamu nggak suka, kenapa kamu terima dari awal, waktu dia nembak kamu?”
“Yach, aku kan nggak tau sikap dan sifat dia kayak itu. Ternyata udah dijalanin, aku rasa aku nggak cocok aja sama dia”.
“Tapi kan kalian baru sebulan jalan bareng. Kamu butuh waktu Ga, agar kamu tau banyak soal Fery”.
“Duh..... Jen. Waktu sebulan itu cukup lama. Mau berapa lama lagi sich? Lagian aku udah bosan sama dia”.
“Kamu nggak boleh gitu Ga. Fery itu orangnya baik. Salah apa sich dia sama kamu. Pokoknya aku nggak setuju kamu putus sama dia”.
“Lho ... koq jadinya kamu yang sewot. Ya udah, kamu aja yang pacaran sama dia. Atau jangan-jangan kamu tu naksir ya sama Fery, makanya ngebelain dia”.
“Bukan gitu Ga!”
“Lantas?”
“Aku nggak mau kamu kena batunya. Aku ini sahabat kamu. Aku nggak ingin terjadi apa-apa sama kamu”.

“Duh......perhatiannya. Tenang aja Jen, nggak akan terjadi apa-apa sama aku”.
“Iya, aku percaya, Ga. Sejak Irgi pergi dari kamu, kamu tu banyak berubah. Ega yang dulu nggak pernah nyakitin perasaan orang lain, Ega yang selalu setia, Ega yang punta warna hidup”.
“Ach ..... sudah Jen, semua itu masa lalu. Lupakan aja Ega yang dulu meskipun sikap aku udah berubah. Dan aku rasa soal Irgi nggak usah dibahas dech”.
“Tapi Irgi kan yang buat kamu jadi seperti ini Ga. Aku kasian sama kamu”.
“Kamu nggak perlu kasiani aku, aku nggak papa Jen”.
“Kamu nggak perlu bohong Ga. Kamu tu menderita karena orang yang paling kamu sayangi ningalin kamu tanpa membuat keputusan apapun. Aku kenal baik sama kamu Ga. Aku ingin kamu lupain Irgi”.
Ega terdiam. Sejurus diresapinya kata-kata Jeni barusan. Jeni memang benar, Ega harus membuang jauh-jauh masa lalu dan membuka kehidupan untuk kebahagiaan. Irwan, Doni, Jay, Boy, Tomi dan Fery salah apa mereka?
Tanpa diduga oleh Jeni, Ega memeluknya dengan erat. Gadis itu menangis di pelukan sahabatnya.
“Tapi aku nggak bisa Jen. Aku nggak bisa lupain Irgi. Aku cinta mati sama dia,” ujar Ega disela isaknya.
“Ss ....sst, kamu pasti bisa. Ingat Ega, cinta sejati itu adalah cinta kepada Tuhan. Kamu coba ya .....”.
Ega nuruti anjuran Jeni untuk menerima Fery kembali. Memang dia sayang banget sama Ega. Ega berharap keputusan yang diambilnya kali ini bukan merupakan kesalahan seperti yang dilakukannya saat dia menerima Irgi.
Biarpun Fery udah begitu baiknya, Ega tetap aja belum bisa menerima Fery sepenuhnya menjadi bagian dari kehidupannya. Menurutnya, posisi Irgi belum bisa digantikan oleh siapapun termasuk Fery. Fery ngajak Ega ke sebuah cafe. Suasana cafe yang cukup romantis pas benar pilihan Fery untuk mengungkapkan semua perasaannya ke Ega.
“Ga, aku nggak tau dan entah apalagi yang bisa aku lakukan untuk yakini kamu, kalau aku benar-benar serius sama kamu. Aku ngerti kok, kalau hati kamu bukan untuk aku. Aku nggak bisa mengantikan posisi Irgi di hati kamu”.
“Irgi...? Kok kamu tau?”
“Jeni udah cerita banyak tentang kamu. Maaf, mungkin aku terlalu lancang tau soal kamu. Tapi ini aku lakukan karena aku bingung dengan sikap kamu. Kita sudah hampir dua bulan pacaran, tapi nggak seperti orang pacaran lazimnya. Aku sadar Ga, aku nggak akan bisa bahagiakan kamu”.
Fery menarik napas dalam-dalam. “Aku nggak peduli perasaan kamu ke aku seperti apa, tapi kamu harus tau aku benar-benar sayang sama kamu, aku cinta sama kamu, Ga.
Streett....!! tanpa diduga jus tomat Ega tumpah, sehingga membasahi jeans yang dikenakan Ega.
“Kok bisa gini Ga? Kamu sich melamun aja,” kata Fery sembari membersihkan celana Ega dengan tissue. Ega membiarkan Fery melakukan itu. Nggak biasanya dia seperti itu.
“Dah selesai,” kata Fery.
Ega kaget. Berarti dari tadi Fery membersihkan celananya, Ega terus melamun.
“Thanks ya Fer. Duh .. jadi nggak enak nich”.
“Nggak apa-apa Ga”.
“Aku ke toilet sebentar ya Fer”.
Ega ke toilet yang berada di sebelah kanan pintu keluar.
“Oh Tuhan...., kenapa aku selalu deg-degan terus bila dekat sama Fery, padahal sebelaumnya nggak gitu. Dia baik banget, aku nggak tega kalau nyakitin dia. Mungkin Jeni benar, aku harus menerima Fery jadi soulmateku, dan aku akan berusaha belajar mencintainya,” pikir Ega dalam hati.
Pas mau masuk ke toilet, tiba-tiba mata Ega terbentur dengan sosok yang nggak asing lagi buatnya.
“Irgi ....?”
“Ega......kenapa ada di sini?”
“Kamu sendiri? Aku lagi makan bareng sama teman”.
“Dengan siapa kemari? Dengan pacar kamu?”
Bussyet Irgi ngeledek atau serius.
“Nggak, teman.”
“Kamu masih sendiri Ga?”
“He eh”.
“Sama donk kalau gitu”.
“Kenapa ya aku nggak ngerasain hal yang sama pada Irgi seperti yang aku rasakan waktu dengan Fery,” pikirku
“Berarti aku bisa donk jalan lagi sama kamu,” tanya Irgi.
Ega bingung dengan pertanyaan Irgi barusan.
“Boleh”.
“Ga, aku cabut dulu, teman-teman nunggu tuh...”.
***
“Jen, gimana nich? Ntar malam Irgi ngajak aku kencan.”
“Kencan apaan?”
“Jen, aku bingung banget. Tau nggak, dia ngajak aku balikan”.
“Nggak bisa Ga. Aku nggak setuju”.
“Tapi aku masih sayang sama dia. Dia nggak berubah Jen. Lagian kami kan belum putus”.
“Kamu tu gila ya Ga. Irgi tu udah ninggalin kamu, terus sekerang dia ngajakin kamu pacaran lagi. Kamu tu jangan bego Ga”.
“Tapi aku senang kalau bisa jalan sama dia lagi. Masalahnya Fery, Jen. Gimana Fery?”
“Aku nggak bisa bantu kamu soal ini. Aku nggak ikut dalam perbuatan konyol kamu”.
“Ya udahlah, Jen”.
Jeni ninggalin Ega. Sementara Ega masa bodoh dengan omongan Jeni.
Malamnya Irgi menjemput Ega. Irgi membawa Ega ke tempat yang nggak kalah romantisnya dengan waktu Fery ngajak Ega.
“Ga, aku minta maaf”.
“Soal apa?”
“Aku tau, mungkin permintaan maaf aku ini nggak cukup buat nebus kesalahan aku sama kamu. Aku ninggalin kamu gitu aja,” hati-hati Irgi melanjutkan kata-katanya.
“Waktu itu aku nggak tega mutusin kamu, makanya aku pergi ninggalin kamu”.
Ega terdiam, kegetiran menyelimuti perasaannya. Luka lamanya tertoreh kembali oleh perkataan Irgi yang mengingatkannya pada penderitaan yang ia rasakan sepeninggalan Irgi darinya.
“Ga, maafin aku. Sebenarnya waktu kita masih pacaran dulu, aku udah menjalin hubungan dengan cewek lain, namanya Nela. Aku membandingkan kamu dengan Nela, dengan tujuan ingin mencari yang terbaik diantara kalian berdua. Dengan Nela aku mendapatkan sesuatu yang nggak aku dapat dari kamu. Makanya aku putuskan bahwa Nela adalah pilihan hatiku”.
Air mata yang indah ditahan Ega dari tadi nggak bisa lagi diajak kompromi, kini bergulir di kedua pipinya.
“Aku pergi dari kehidupan kamu dengan harapan aku bisa bahagia dengan Nela. Tapi kenyataannya lain, Nela nggak cuma milik aku, dia juga milik cowok-cowok lain. Sejak aku tau Nela seperti itu, aku putus sama dia, dan setelah itu aku kesepian. Waktu itu aku sempat berpikir untuk kembali sama kamu, tapi aku takut kamu nggak mau menerima aku. Akhirnya kita bertemu di cafe itu. Waktu itu semangat dan keberanianku muncul, karena aku yakin dari tatapan mata kamu, masih ada cinta buat aku,” kata Irgi.
Ega mengatur napas. Tampaknya sulit untuk bicara, karena isakan tangis.
“Aku nggak bisa, Ir”.
“Kenapa?” Irgi terkejut dengan ucapan Ega yang nggak pernah dia duga.
“Aku ingin mencari kebahagiaan seperti halnya kamu. Dan aku rasa kebahagiaan itu nggak aku dapatkan dari kamu, tapi dari orang lain.”
“Siapa orang itu, Ga”.
“Kamu nggak perlu tau siapa dia”.
“Tapi aku yakin, Ga, kamu hanya cinta sama aku.”
“Kamu benar, Ir. Aku memang sangat cinta sama kamu, dan aku sulit untuk ngelupain kamu, tetapi bukan berarti aku nggak bisa melupakan kamu.”
“Tapi gimana dengan aku, Ga. Kamu harus mikirin aku donk!”
“Waktu kamu ninggalin aku, kamu pernah mikir nggak dengan perasaan aku. Nggak pernah kan, Ir?”
“Tapi ....”
“Ir, serbaiknya kamu lupain semua tentang kita. Itu semua masa lalu, dan aku rasa nggak seharusnya kamu ada di sini, aku nggak mengharapkan kehadiran kamu. Pergilah Ir, kamu harus mencari cinta kamu, karena cinta kamu bukan aku.
***
“Hei .....ngelamun terus. Tuh Fery nungguin di bawah, Ga. Kayaknya dia ada sesuatu untuk kamu,” Jeni mengejutkan Ega, sehingga lamunannya berhamburan entah kemana.
“Apa....?”
“Nggak tau. Lihat aja sendiri”.
“Apaan nich Fer?”
“Ntar aja dibuka”.
“Makasih ya”.
Seharian Ega berduaan sama Fery ngerayaan ultahnya Ega yang ke 21. Ega mulai suka sama Fery. Ega nggak sia-sia belajar mencintai dia, karena sekarang Ega memang cinta sama dia.
“Oh ya, Ga, handphone kamu ketinggalan. Tadi aku lihat ada satu missed call dan satu message. Coba lihat”.
Ega meraih handphone di tempat tidurnya. Satu nomor baru, ada satu pesan lagi.
“Selamat Ulang Tahun Ega,” tulis Irgi di handphone itu.

Pergilah Cinta

Waktu terasa begitu cepat jalannya. Sebentar lagi dia akan berusia 35 tahun. Dan teman-teman lainya sudah asik menimang-nimang anak. Di dalam hati ada kesepian yang sangat. sebenarnya akupun membutuhkan perhatian dan cinta. Namun aku takut memulai. Tak banyak wanita yang ku kenal di sekeliling hidupku. mungkin aku telah patah arang.
Benar kata orang, bila wanita putus cinta, mereka akan bertambah cantik dan bertambah gaya. Bila pria putus cinta makin kusam, hidup ngak teratur dan tampang makin jelek. Itulah yang terjadi pada ku. dalam Masa 3 tahun bersama Wina hilang begitu saja, saat Wina mengabarkan dia menerima tunangan dari mamanya. Baginya itu adalah alasan yang dibuat-buat.
"Wahai jiwa yang berada di dalam rasa dan diriku, apakah aku terlalu banyak berdialog dengan diriku sehingga aku kurang mampu berkomunikasi dengan lingkunganku ? Apakah aku adalah orang yang selalu berpikir picik dalam kehidupan ini? Apakah aku terlalu egois terhadap diriku sendiri?" pertanyaan batin ini menyeruak dan bermain dalam lamunan hati aku pun bertambah hancur.
Ini adalah cinta ke 2 yang kandas. Satu tahun aku menjadi kacau sampai-sampai aku pernah hampir di PHK dari pekerjaan. Sebab jarang masuk kerja dan kalaupun masuk ngak ada kerjaan yang beres pada waktunya. Untunglah atasanku sangat baik padaku dan sering memberi semangat hidup. Kebiasaan minum di bar sudah setahun ini dia hentikan. Dan dia tidak pernah bikin malu lagi dengan teller di bar atau di jalanan.
sering Gelap dalam pikiranku tak seperti terangnya sinar matahari. Kulihat cahayanya menyilaukan mata, panasnya membuat dahi mengeluarkan keringat. Aku hanya bisa mengusap keringat itu dengan lenganku sebagai tanda bahwa aku kelelahan. Mana sempat aku bawa sapu tangan dari rumah dengan kondisiku saat itu. "Ya Allah, sepertinya aku tak sanggup lagi menahan semua ini," begitulah gelora dalam batinku.
*****************
Pukul tujuh sore telah tiba, aku pun buru-buru pulang untuk menepati janjiku harus bertemu dengan wina di sebuah resto favoritku. Dan Kamipun duduk berdua di sebuah meja makan. Untuk makan malam.
Cahaya lampu neon berubah wujud wina menjadi bidadari cantik, menggetarkan hati ku. Begitulah kiranya hasil proyektor otak ku. Kulitnya yang putih tak mungkin terbakar oleh sinar itu, , saat-saat seperti ini hatiku
membutuhkanmu untuk memadamkan asmara yang kian memuncak ketika aku merindukanmu setelah 3 tahun berlalu. Isi hatiku pun tak mampu keluar dari mulutka. Ah, yang bisa dilakukannya hanya diam, bicara hanya mampu melalui mimpi atau saat Ia lagi sendiri.
Wina ternyata telah berubah, makin gemuk dan wajahnya tak secantik dulu. Ada raut penderitaan di bola matanya. Setelah selesai makan merekapun bicara ke inti persoalan. Tak terasa ada air mata di wajah Wina. aku pun mendadak terharu. Cerita yang dia lontarkan cukup mengagetkan ku. Aku berpikir Wina pasti bahagia hidupnya.
Ternyata tak seperti perkiraanku. Suaminya ternyata seorang don juan. Punya banyak simpanan wanita. Jarang pulang dan kalau pulang pun hanya pertengkaran yang ada. Sejak anak pertamanya lahir suaminya berubah. Kasar dan suka memukul.
aku hanya terdiam dan tak sanggup berkata. aku adalah orang lain sekarang bagi Wina. Dan semuanya tak akan bisa kembali seperti dulu. aku sadar, tak baik bagiku menjadi orang ketiga di keluarga wina. Itu akan menambah persoalan baru.
Lamunanku kembali buyar.wina menyadarkan aku, mungkin karena hatiku menghibur diriku yang selalu kesepian ini, membuatku dapat tersenyum cerah tanpa beban dihadapan wina.
"Gus..maafkan Wina ya. Wina telah menghancurkan hati kamu, dalam hati kecil Wina, Wina masih mencintai kamu. Dan tak akan hilang sampai kapan pun, terimakasih kamu telah mau menemani malam ini." Wina pun mencium pipiku sebelum berlalu naik taxi pulang.
Tanpa terasa hari sudah kian malam, dan selama dalam perjalanan pulang, aku tak henti-hentinya bersyukur. Waktu yang sempit sekali pun harus kusyukur. Rembulan malam tepat berada di tengah-tengah ketika nada-nada itu tiba-tiba lenyap digantikan keheningan yang luar biasa. Keheningan yang membawaku menyadari ternyata aku benar-benar sendiri, dan aku yang telah terbiasa sendiri ini menjadi ketakutan, bukan takut karena aku seorang diri disini, tapi takut dengan kesendirianku yang selalu menyendiri, seperti sekarang ini. Aku tetap terdiam merenungi kesendirianku, kenapa aku selalu ingin sendiri ? dan berulang kali aku mencoba untuk bisa hidup dengan orang lain ternyata tetap tidak nyaman tidak seperti ketika aku sendiri. Mungkin aku selalu merindukan kesendirianku.
Aku termenung…aku tak tahu mesti berkata apa. aku pada posisi yang salah. Bagaimanapun rasa suka masih ada. Tapi cinta nya telah hilang buat Wina.Saat aku pulang samar-samar di radio di mobilku terdengar lagu dari "Selamat jalan kekasih... Manis yang berujung perih...Kisah ini terlalu indah tuk jalani ini semua". Tanpa sadar air mataku menetes di pipi. "Tuhan…kuatkan iman hamba" aku berdoa. Dan aku sadari aku pun tidak bisa memiliki wina ku lagi.. pergilah biarkan ku nikmati indah dirimu hanya dalam bayang-bayang sepi.
Aku terus berdoa kepada Allah. "Ya Allah sesungguhnya aku ini lemah, maka kuatkanlah aku dan aku ini hina maka muliakanlah aku dan aku fakir maka kayakanlah aku wahai Dzat yang Maha Pengasih. Biarkan aku ikhlas dalam melepas Wina. Takdirmu adalah nyata segalanya bagiku. Pergilah cinta dengan rasa yang selalu kujaga. Raihlah hidupmu. Bukankah cinta tidak harus selalu memiliki?" Hanya pikiran itu yang ada di benakku kini.

Mencinta…(Ku Menunggu)

Kadang, Tuhan yang mengetahui yang terbaik
Akan memberi kesusahan untuk menguji kita
Kadang, Ia pun melukai hati kita
Supaya hikmahnya bisa tertanam amat dalam
Jika kita kehilangan cinta..
Maka ada alasan dibaliknya
Alasan yang kadang sulit untuk dimengerti
Namum kita tetap harus percaya
Bahwa ketika ia akan mengambil sesuatu
Ia telah siap memberi yang lebih baik…
MENGAPA MENUNGGU????
Karena walaupun kita ingin mengambil keputusan
Kita tak ingin tergesa-gesa…
KARENA…..
Walaupun kita ingin cepat-cepat, kita tak ingin sembrono…
KARENA…..
Walaupun kita ingin segera menemukan orang yang kita cintai…
Kita tak ingin kehilangan jati diri kita dalam proses pencarian cinta
Jika ingin berlari, belajarlah berjalan dahulu
Jika ingin berenang, belajarlah mengapung dahulu
Jika ingin dicintai, belajarlah mencintai dahulu…
BAGIKU….
Lebih baik menunggu orang yang kita inginkan…
Ketimbang memilih apa yang ada
Tetap lebih baik menunggu orang yang kita cintai
Ketimbang memuaskan diri dengan apa yang ada
Tetap lebih baik menunggu orang yang tepat
Karena hidupku terlampau singkat untuk dilewatkan bersama
PILIHAN YANG SALAH
Karena menunggu mempunyai tujuan yang mulia dan misterius
PERLU KAU KETAHUI
Bahwa bunga tidak mekar dalam semalam
Kehidupan dirajut dalam rahim selama 9 bulan
Cinta yang agung terus tumbuh selama kehidupan ini
Walaupun menunggu membutuhkan banyak hal iman, keberanian dan pengharapan….
Penantian menjanjikan satu hal yang tidak dapat seorangpun bayangkan
PADA AKHIRNYA TUHAN…
Dalam segala hikmah dan kasihnya….
Meminta kita menunggu….
KARENA…
Alasan yang penting!!!!!!

Aku Sangat Mendambakan Cintamu

Pada suatu hari yang gelap di musim gugur 1942, udara dingin, sangat dingin. Hari itu tak ada bedanya dengan hari-hari lain di kamp konsentrasi Nazi. Aku berdiri menggigil dalam pakaian compang-camping yang tipis, masih tak percaya bahwa mimpi buruk ini benar-benar terjadi.
Aku hanya seorang anak laki-laki. Seharusnya aku bermain-main bersama kawan-kawanku; seharusnya aku pergi ke sekolah; seharusnya aku bersemangat menyongsong masa depanku, ketika aku akan menjadi dewasa, menikah, dan membangun keluargaku sendiri. Tetapi, semua impian itu hanya pantas untuk mereka yang masih hidup, dan aku bukan lagi salah satu dari mereka. Aku nyaris mati, mencoba bertahan hidup dari hari ke hari, dari jam ke jam, sejak aku diseret dari rumahku dan dibawa ke sini bersama puluhan rIbu orang Yahudi lainnya. Apakah besok aku masih hidup? Apakah malam ini aku akan dibawa ke kamar gas?
Aku berjalan mondar-mandir di dekat pagar kawat berduri, mencoba menghangatkan tubuhku yang kedinginan. Aku lapar, tetapi sudah sejak lama aku kelaparan, lebih lama dari yang ingin kuingat-ingat. Aku selalu kelaparan. Makanan yang layak sepertinya hanya ada dalam mimpi. Setiap hari semakin banyak di antara kami menghilang begitu saja, masa lalu yang bahagia tampak semakin samar. Aku kian tenggelam dalam keputusasaan.
Tiba-tiba, aku melihat seorang anak perempuan berjalan di balik pagar kawat berduri. Anak itu berhenti dan memandangku dengan mata sedih, mata yang seakan berkata bahwa dia mengerti, bahwa dia juga tidak bisa menemukan jawab mengapa aku ada di sini. Aku ingin membuang pandang, aku malu dan canggung karena anak perempuan asing itu melihatku dalam keadaan seperti ini. Tetapi, aku tak kuasa mengalihkan mataku dari matanya.
Kemudian dia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebutir apel merah. Apel yang cantik, merah kemilau. Sudah berapa lamakah sejak terakhir kalinya aku melihat apel seranum itu?! Dengan waspada dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu sambil tersenyum penuh kemenangan cepat-cepat melemparkan apel itu melewati atas pagar. Aku lari memungutnya, memeganginya dengan jari-jariku yang gemetar dan membeku. Dalam duniaku yang penuh kematian, apel itu menjadi lambang kehidupan, lambang cinta. Aku mengangkat wajahku dan melihatnya menghilang di kejauhan.
Esok harinya, aku tak dapat menahan diri—pada waktu yang sama aku berdiri di tempat yang sama, di dekat pagar. Apakah aku gila mengharapkan dia datang lagi? Tentu saja. Tetapi, di dalam hati aku bergantung pada seiris harapan tipis. Dia telah memberiku harapan, aku harus bergantung erat pada harapan itu.
Sekali lagi, dia datang. Sekali lagi, dia membawakan sebutir apel untukku, melemparkannya lewat atas pagar sambil tersenyum manis seperti kemarin. Kali ini apel itu kutangkap, lalu kupegang tinggi-tinggi agar dia melihatnya. Matanya berbinar. Apakah dia mengasihaniku? Mungkin. Aku tidak peduli. Aku cukup senang bisa memandangnya. Dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, aku merasa hatiku bergetar karena luapan perasaanku.
Tujuh bulan lamanya kami bertemu seperti itu. Kadangkadang kami bertukar kata. Kadang-kadang, hanya sebutir apel. Tetapi, bukan hanya perutku yang diberinya makanan. Dia bagaikan malaikat dari surga. Dia memberi makanan untuk jiwaku. Dan entah bagaimana, aku tahu aku juga memberinya makanan.
Suatu hari, aku mendengar kabar mengerikan: kami akan dipindahkan ke kamp lain. Itu bisa berarti kiamat bagiku. Yang jelas, itu merupakan akhir pertemuanku dengan kawanku itu. Esok harinya ketika aku menyapanya, dengan hati hancur kukatakan apa yang nyaris tak kuasa kusampaikan,
"Besok jangan bawakan aku apel," kataku kepadanya.
"Aku akan dipindahkan ke kamp lain. Kita takkan pernah bertemu lagi."
Sebelum kehilangan kendali atas diriku, aku berbalik dan berlari menjauhi pagar. Aku tak sanggup menoleh ke belakang. Kalau aku menoleh, aku tahu dia akan melihatku berdiri canggung sementara air mata mengalir membasahi wajahku.
Bulan demi bulan berlalu. Mimpi buruk itu terus berlanjut. Tetapi kenangan akan anak perempuan itu membantuku mengatasi saat-saat mengerikan, rasa sakit, dan rasa putus asa. Berkali-kali aku melihatnya dengan mata pikiranku; aku melihat wajahnya dan matanya yang lembut. Aku mendengar kata-katanya yang lembut dan mencecap manisnya apel-apel itu.
Sampai pada suatu hari, mimpi buruk itu tiba-tiba berakhir. Perang sudah selesai. Kami yang masih hidup dibebaskan. Aku telah kehilangan semua milikku yang berharga, termasuk keluargaku. Tetapi aku masih menyimpan kenangan akan anak perempuan itu, kenangan yang kusimpan dalam hati dan memberiku kemauan untuk meneruskan hidupku setelah aku pindah ke Amerika untuk memulai hidup baru.
Tahun-tahun berlalu. Sampai tahun 1957. Saat itu aku tinggal di New York City. Seorang kawan memaksaku melakukan kencan buta dengan seorang wanita kawannya. Dengan enggan, aku menyetujuinya. Ternyata wanita itu manis, namanya Roma. Seperti aku, dia juga seorang imigran. Dengan begitu setidak-tidaknya kami punya persamaan.
"Di mana kau selama masa perang?" Roma bertanya kepadaku, dengan cara halus seperti umumnya para imigran yang saling bertanya tentang tahun-tahun itu.
"Aku ada di sebuah kamp konsentrasi di Jerman," jawabku.
Mata Roma tampak menerawang, seakan-akan dia ingat sesuatu yang manis namun membuatnya sedih.
"Ada apa?" tanyaku.
"Aku ingat masa laluku, Herman," Roma menjelaskan dengan suara yang tiba-tiba menjadi sangat lembut. "Waktu masih kecil, aku tinggal dekat sebuah kamp konsentrasi. Di sana ada seorang anak laki-laki, seorang tahanan. Selama beberapa bulan aku selalu mengunjunginya setiap hari. Aku ingat, aku biasa membawakan apel untuknya. Aku selalu melemparkan apel itu lewat atas pagar. Anak itu senang sekali"
Roma mendesah panjang, lalu meneruskan, "Sulit menggambarkan bagaimana perasaan kami masing-masing—bagaimanapun waktu itu kami masih muda sekali. Bahkan jika situasi memungkinkan pun kami hanya bertukar beberapa kata—tetapi aku yakin, waktu itu di antara kami tumbuh cinta yang tulus. Aku yakin dia pasti dIbunuh seperti yang lain-lain. Tetapi, aku tak sanggup membayangkan itu. Karenanya, aku berusaha mengenangkan dia seperti yang kulihat di bulan-bulan itu, ketika kami sedang bersama-sama."
Dengan jantung berdegup kencang hingga kupikir nyaris meledak, aku menatap Roma lekat-lekat dan bertanya,
"Apakah pada suatu hari anak laki-laki itu berkata kepadamu, 'Besok jangan bawakan aku apel. Aku akan dipindahkan ke kamp lain'?"
"Wah, ya," sahut Roma, suaranya bergetar.
"Tapi, Herman, bagaimana mungkin kau bisa tahu itu?"
Aku meraih tangannya dan menjawab, "Karena aku adalah anak laki-laki itu, Roma."
Detik-detik berlalu lambat. Yang ada hanya keheningan.
Kami tak dapat mengalihkan mata kami. Lama kami saling memandang. Kemudian, setelah tirai waktu terangkat, kami mengenali jiwa di balik mata yang saling bertatapan, kami mengenali kawan yang manis dan pernah sangat kami cintai, yang selalu kami cintai, yang tak pernah hilang dari kenangan kami.
Akhirnya, aku berkata, "Roma, aku pernah dipisahkan darimu. Sekarang aku tidak ingin dipisahkan lagi darimu. Sekarang aku bebas, aku ingin selalu bersamamu, selamanya. Sayangku, maukah kau menikah denganku?"
Aku melihat binar-binar yang sama di mata yang dulu sering kupandangi itu ketika Roma menjawab, "Ya, aku mau menikah denganmu." Lalu kami berpelukan, pelukan yang sudah kami dambakan selama berbulan-bulan, tetapi terhalang oleh, pagar kawat berduri yang memisahkan kami. Sekarang, tak ada lagi yang akan memisahkan kami.
Hampir empat puluh tahun telah berlalu sejak aku menemukan Roma-ku lagi. Nasib mempertemukan kami untuk pertama kalinya di masa perang, untuk menunjukkan kepadaku adanya janji harapan. Sekarang, nasib pula yang mempersatukan kami untuk menunaikan janji itu.
Hari Valentine tahun 1996. Kuajak Roma ke acara Oprah Winfrey Show untuk menghormatinya di siaran televisi nasional. Di depan jutaan pemirsa, aku ingin mengatakan kepadanya apa yang kurasakan dalam hatiku setiap hari:
"Kekasihku, kau memberiku makanan di kamp konsentrasi ketika aku kelaparan. Aku akan tetap lapar dan dahaga akan sesuatu yang rasanya takkan pernah cukup kuperoleh: Aku lapar dan dahaga akan cintamu."

Arti Dan Kisah Sebuah Cinta

Aku duduk bersandar dan aku merasa lemah sekali…., dan tidak tahu lagi harus berbuat apa untuk membuktikan sebuah angan yang menjadi beban dalam kebisingan otakku, aku tak tahu lagi bagaimana aku membuktikan apa yang kurasa pada dirimu, dirimu bagaikan batu yang harus kutembus dengan tetesan air sedikit demi sedikit,….. dan akankan diriku mampu menerimamu apa adanya…… ?
Aku sadar siapakah diriku,… sungguh aku tak pantas untuk mendapatkan cinta dari seorang yahya, seorang putra dari seorang ahli ibadah dan tersohor di negeri ini, gagah rupawan dan tak terbesit pun kekurangan dari dirinya. Sedangkan diriku … hanyalah seorang pemuas hasrat lelaki yang mendambakan kehangatan sesaat. Bukan aku tidak memiliki rasa mencintai untuknya dan bukan pula sebuah batu yang hendak ia runtuhkan sekalipun, aku hanya berpikir bagaimana ia kelak menjawab seluruh pandangan orang disekitarnya akan keberadaanku, oh.. tuhan.. mengapa cinta ini Engkau anugerahkan diantara kami, apakah ini yang memang Engkau harapkan terhadap kami…?
Izza namaku, hidupku berantakan sejak aku menjadi korban trafficking, saat itu aku masih 16 tahun. Disebuah terminal segerombolan laki – laki mendekati dan menyekapku, aku tak berdaya dibuatnya dibawalah aku dalam sebuah ruang yang kosong, sepi dan tampak berantakan. Aku dibuatnya layaknya boneka yang mereka lakukan dengan bergiliran dan mereka memperkosaku. Hancur rasanya kala itu aku bagaikan mati tak memiliki rasa apapun.
Haripun berganti, aku dijual pada seorang wanita paruhbaya dan kemudian aku dipekerjakan sebagai seorang wanita penghibur disebuah klub malam. Tak terasa sudah 5 tahun aku bekerja dan kini usiaku sudah 21 tahun. Suatu awal kisah cinta ini terjadi, datanglah padaku sesosok pria tampan dengan wajah yang menampakkan kesedihan diraut wajahnya. ‘ mbak temani aku untuk sesaat ‘ itulah kata yang pertama keluar dari mulutnya, ‘ aku mencari seseorang yang bisa menjawab kegelisahanku, dimanakah aku menemukan belahan jiwaku yang membuatku tentram ? … aku kemari bukan untuk kesenangan, terkadang sebuah jawaban datangnya dari sesuatu yang tak pernah kita sangka..’ kemudian aku menoleh dan menatap wajahnya dengan tatapan tajam, dan aku bertanya ‘ apakah yang engkau pikirkan ..? ‘ dan ia menjawab ‘ ayahku yang sangat kuhormati mengharapkan seorang keturunan, dan aku tak mampu memenuhinya karena tak satupun wanita yang kukenal mampu meruntuhkan hatiku, dimanakah aku bisa mendapatkan cinta …?’, kemudian aku menjawab ‘ bersahabatlah kamu karena Allah dan mencintailah kamu karena Allah, bila kamu mencintai sesorang berdasar pada hasrat maka cinta itu adalah palsu’
Aku terperangah mendapatkan jawaban diluar dugaanku,… siapakah dia ?… sehingga mampu memberikan jawaban yang sangat mendalam. Izza kau membuat aku bertambah payah, jawaban yang kau berikan membuatku semakin menggila dengan anganku sendiri. Dan sejak saat itu aku semakin sering mengunjunginya dan membuatku semakin akrab dengannya. Pemikiran yang luas jiwa yang lapang ternyata itulah yang kuharapkan dan itu terdapat dalam diri izza.
Dan suatu ketika hujan yang lebat anginpun sangat kencang aku duduk bersandar dibawah sebuah pohon dengannya, saat itu pula aku menyatakan bahwa selama ini aku larut dalam jiwa izza, ‘ izza tak kusangka ternyata kau mampu membuatku hanyut, kini aku sadar bahwa beginilah rasa mencintai dan maukah kau menjadikan aku sebagai teman hidupmu…? tak terucap pun kata dari bibirnya, matanya memerah dan keluarlah air itu dari matanya yang manis. Tak lama ia berucap ‘ tak sadarkah apa yang kau ucapkan ?… ” lalu ia pergi entah kemana dan tak ingin aku mengikutinya.
Dua minggu aku tak bertemu dengan izza pikiranku melayang menahan semua kerinduan yang membuat dada ini semakin sesak, ketika hari menjelang sore aku duduk disebuah taman depan rumahku. Dari kejauhan aku melihat seseorang mendekati rumahku, aku terperangah saat aku tahu siapa dia dengan lekas aku meloncat dari tempat dudukku dan menghampirinya ‘ izza apakah yang membuatmu datang kemari ?.. ‘ sesaat ia terdiam lalu berkata ‘ tak sadarkah kau apa yang kurasakan, aku tak mampu membohongi diriku aku tak mampu selalu berpaling darimu… aku mencintaimu…’ aku seolah tak percaya apa yang ia katakan tak sadar aku sudah memeluk dirinya erat dan tak terasa aku air mata pun jatuh….
Dan kuperkenalkan ia dengan orang tua dan saudaraku akan kehadiranya dan hubungan ini, tak butuh waktu lama orang tuaku shock mendengar kejujuranku… seolah ia tak menerima kenyataan yang terjadi. Setelah segelas air ia habiskan lalu ayahku berkata ‘ tak satupun kejadian didunia ini yang luput dari kehendakNya , anakku jagalah, rawatlah bakal istrimu dengan baik… apapun yang terjadi… dan bersabarlah’.

Cemburu

Alia nampak dengan jelas, gadis itu keluar dari perkarangan rumah Ikwan. Alia juga nampak Ikwan menghantar gadis cantik itu dengan lambaian dan senyuman yang ranum. Kata Ikwan, gadis itu adalah kawan kecilnya. Tapi sejak gadis itu datang, Ikwan kian menjauh darinya, Ikwan kerap keluar bersama gadis itu. Hati Alia sakit!
Ikwan jarang menelefonnya kini. Malah, kalau Alia call di rumah, selalu saja keluar. Handsetnya juga selalu suruh tinggalkan pesanan suara saja, bila ditanya kenapa, kata Ikwan habis bateri. Takkan sepanjang minggu habis bateri? Kalau dapat call pun Ikwan cakap sikit saja dengannya. Seolah tidak ada lagi topik yang menarik hendak di kongsikannya bersama Alia. Alia rasa bahang perubahan sikap Ikwan. Gara-gara kehadiran gadis cantik yang pulang dari London itu. Kononnya kawan lama, entah-entah kekasih lama!
“Gadis tu kan baru je datang dari luar negara, lagi pun mereka memang sahabat rapat dari kecil, memanglah banyak yang nak dibualkan setelah sekian lama tidak berjumpa.” Alia mahu percaya kata-kata Nina yang memujuknya itu. Tapi cemburu dihati Alia masih juga meronta-ronta tak mahu kalah. Tak boleh jadik nih!
“Tapi Nina.. Wan dah berubah! Dia macam dah lupakan Lia.. macam dia dah malas nak jumpa atau sekurang-kurangnya berbual dengan Lia.. sejak kedatangan kawan baiknya yang cantik tu!” Geram Alia bila teringatkan gadis itu. Sakit hati Alia bila terbayang wajah cantik itu. Memang dia benar-benar cantik! Hidungnya lebih mancung dari Alia, kulitnya putih dan halus. Bukan seperti Alia yang berkulit sowo matang. Matanya besar dihiasi bulu mata yang panjang dan lentik serta keningnya hitam lebat. Pipinya gebu dan licin macam kulit tomato. Bibirnya mungil dan merah jambu tanpa perlu disapu gincu. Rambutnya pula panjang lurus separas dada. Hati lelaki mana yang tidak tertawan. Alia tahu beza antara dia dan gadis itu bagaikan langit dengan bumi.
Alia pandang ke dalam cermin, pantulan dari cermin memaparkan wajahnya yang masam mencuka. Dia lihat keningnya yang nipis, matanya yang kecil dan bulu mata yang pendek. Kulitnya tidak sehalus dan segebu gadis itu. Bibirnya pucat saja. Kalau tidak memakai gincu langsung tidak menarik. Alia mula bencikan rupanya! Dia ingin kelihatan cantik, lebih cantik dari gadis itu!
Alia bandingkan pula dirinya dengan gadis itu, dia hanya mendapat Diploma dalam bidang Pengurusan dan sekarang jadi kerani biasa di sebuah syarikat swasta. Gadis itu pula baru habis belajar di luar negara dengan gelaran Sarjana Muda Undang-undang. Kalau dapat kerja nanti, pasti gajinya menjangkau angka dua ribu. Ah! Gadis itu umpama permata yang berharga, manakala Alia bagai pasir yang bertaburan dijalanan. Alia mengeluh lagi.
“Pasti Ikwan tidak berminat untuk bersamaku lagi.. Ikwan sudah menjumpai gadis yang sesuai dengan dirinya..” kata Alia sendirian. Alia sedar, Ikwan tidak setaraf dengannya, lelaki itu berkerja sebagai Timbalan Eksekutif di syarikat ibunya. Mereka adalah golongan berada, bukan macam Alia yang sederhana. Namun hati Alia masih berharap, dia berharap Ikwan akan kembali mesra seperti dulu. Alia ingat perkenalan mereka yang singkat tapi bermakna.
“Encik Haris ada?” itulah kata-kata Ikwan ketika masuk ke pejabatnya untuk menemui bos Alia, yang merupakan pelanggannya.
“ Emn.. dia keluar sekejap! Ada apa-apa yang saya boleh bantu?” ujar Alia sambil mengkagumi rupa paras lelaki yang berdiri didepannya. Ikwan kacak sekali. Senyumannya lembut dan suaranya lunak.
“Emn.. tak apalah! Biar saya tunggu dia..”
“Oh.. kalau begitu.. silakan..”
Ikwan duduk di meja menunggu yang menghadap meja Alia, Alia sesekali melirik pada Ikwan yang membelek-belek majalah yang tersedia di atas meja itu. Bila sedar dirinya diperhatikan, Ikwan melemparkan senyuman menawannya. Alia jadi tersipu malu. Tidak lama kemudian bosnya Encik Haris kembali. Ikwan segera masuk ke bilik pejabat Encik Haris.
Waktu tengahari, Alia turun makan di restoran berhampiran, ketika Alia menunggu pesanannya, tiba-tiba satu suara menyapa.
“Boleh saya join kamu?”
Alia agak terkejut bila melihat Ikwan berdiri di tepi mejanya.
“Semua meja telah penuh..” ujarnya lagi dengan senyumannya yang mencairkan hati Alia. Alia agak tergagap tetapi mempersilakan Ikwan duduk semeja dengannya. Mereka mula berbual dan memperkenalkan diri masing-masing. Mula-mula perbualan mereka agak lembab, tapi Ikwan pandai berjenaka. Alia tak henti-henti ketawa dibuatnya. Ikwan menyerahkan kad namanya pada Alia, dia juga membayar semua harga makanan.
“Terima kasih, belanja saya makan..” ujar Alia sebelum mereka berpisah.
“Call saya kalau ada masa..” laung Ikwan sebelum pergi. Alia menggangguk. Hatinya berbunga riang.
Sejak hari itu, mereka kerap berhubung. Ikwan selalu bercerita tentang apa saja dengannya. Ikwan akan meluahkan apa saja yang ingin dikongsikannya pada Alia. Lama kelamaan hubungan Alia dengan Ikwan menjadi erat. Putik-putik cinta bersemi. Ikwan melamar cintanya pada hari lahirnya yang ke dua puluh lima tahun. Dengan sejambak bunga, kek harijadi dan seutas rantai. Alia tidak akan lupa betapa bahagianya hati wanitanya hari itu. Bagaikan seorang puteri yang mencapai impiannya.
Tapi itu dulu, sebelum kehadiran gadis cantik yang baru pulang dari luar negara. Kini Ikwan semakin sibuk. Dia tidak ada masa untuk menghubungi Alia. Dia sudah ada teman lain untuk berkongsi cerita mahu pun masalah. Kalau dulu, Alialah tempat mengadu bila hatinya resah atau terlalu penat dengan kerja, kini ada gadis lain yang mengambil alih peranan itu. Alia semakin terkilan.
***************
Alia tidak menghubungi Ikwan lagi selepas dia ternampak gadis itu keluar dari rumah Ikwan. Alia tidak mahu menjadi muka tembok yang tidak tahu malu. Biarlah Ikwan menghubunginya jika lelaki itu masih ingat padanya. Alia ingin menganggap hubungannya dengan Ikwan sudah berakhir.
Dia mengambil keputusan itu setelah memikirkannya masak-masak. Walau pun tiada kata putus antara mereka, Alia lebih rela daripada mendengar kata perpisahan dari mulut Ikwan. Namun setelah dua minggu, Ikwan tidak juga menghubunginya. Hati Alia semakin remuk redam.
“Hai Lia.. mendung je muka kamu kebelakangan ni..” Sapa Harun, rakan sekerjanya.
“Kau jangan sibuklah!!”
“Eh! Marah?” Sakat lelaki itu lagi. Alia tarik muka masam. Dia memang selalu bermuram durja gara-gara hubungannya dengan Ikwan yang dingin itu.
“Aku bukan apa Lia.. tapi sebagai kawan, aku kesian juga tengok kau ni.. badan pun dah susut.. kau makan hati ya?”
Harun bersuara lagi. Alia tantang muka Harun dengan tajam. Dia tidak suka orang lain masuk campur dalam hal peribadinya.
“Aku dah lama tahu hubungan kau dengan Encik Ikwan tu.. aku rasa baik kau lupakan saja dia tu.. aku rasa kau pun tahu, Helina sudah balik dari luar negara. Si cantik tu akan bertunang dengan encik Ikwan tak lama lagi.” Lancar benar Harun menceritakan hal itu. Darah Alia rasanya tersirap hingga ke umbun-umbun. Dia tidak menyangka hubungan Ikwan dengan gadis cantik itu sudah sampai ke tahap bertunang.
“Dari mana kau dapat tahu semua ni Harun?” tanya Alia was-was. Betul ke budak Harun ni? Banyak sangat dia tahu tentang Ikwan.
“Kau hairan? Aku sepupu Helina, memang la aku tahu banyak tentang dia dan Ikwan..” Sahut Harun dengan yakin. Alia tertunduk, matanya mulai terasa panas. Ada manik-manik jernih yang bertakung dibibir matanya. Sampai hati Ikwan!
Hendak bertunang pun Ikwan tidak memberitahunya.
“Mereka dijodohkan oleh keluargakah?” tanya Alia lagi. Dia berharap Ikwan berbuat demikian kerana terpaksa. Alia enggan menerima hakikat kalau Ikwan benar-benar mengkhianati cintanya!
“Sudahlah Alia.. jangan berharap lagi! Helina tu memang kekasih dia.. sebelum kau bersama Ikwan lagi.”
Hati Alia hancur berkecai mendengar kebenaran itu. Jadi selama ini Ikwan menipunya. Selama ini dialah pihak ketiga. Dia hanya sebagai boneka Ikwan kala Helina tidak ada bersama. Cuma sandaran sementara saja! Patutlah Ikwan tidak memperkenalkannya pada Helina bila Helina baru pulang. Ikwan kata kawan sepermainannya dari kecil lagi baru pulang dari luar negara. Tapi sedikit pun dia tidak bersuara untuk memperkenalkan Alia pada gadis itu, jadi memang benarlah Helina adalah kekasih lama seperti jangkaan Alia!
Sakit hati Alia terasa semakin dalam. Jantungnya seakan ditikam-tikam dengan pisau yang amat tajam. Dia benci Ikwan. Dia benci Helina! Mengapa mereka melukakan hatinya. Mengapa Ikwan mencambahkan cinta dihatinya, tapi kini dengan kejam membunuh cinta itu tanpa belas kasihan!
“Kenapa dia tidak beritahu aku?” kata Alia seolah-olah bertanya pada Ikwan.
“Entahlah Lia.. dia mungkin takut kau akan berjumpa Helina dan mengaku sebagai kekasihnya.. pasti hubungannya dengan Helina akan terjejas jika itu berlaku..”
Ada benarnya juga kata-kata Harun itu, patutlah Ikwan enggan dihubungi. Dia takut rahsia hubungannya dengan Alia terbongkar.
“Harun.. aku nak cuti setengah hari, hari ini.. tolong bagitau Encik Haris, katakan aku tak sihat..” Alia mengemas mejanya. Dia ingin pulang ke rumah dan menangis sepuas-puasnya. Dia ingin meraung dan menjerit untuk melepaskan kesakitan yang sarat berbuku didadanya. Harun mengangguk. Dia kelihatan amat bersimpati dengan Alia.
Alia segera mengambil telefon bimbitnya dan mendail nombor Zarul, adik sepupunya. “Kakak ni.. tolong ambil kakak di pejabat!” kata Alia sebaik saja talian disambungkan.
“Ai! Awalnya.. ada apa hal kak?”
“Kakak tak sihat hari ni.. kau di mana sekarang?”
“Saya masih di bandar ni.. ada temuduga pukul 11.00 a.m., habis temuduga nanti saya ambil kakak macam mana?”
Alia mengeluh. Dia ingin segera pulang ke rumah. Tapi Zarul pula sibuk. Adik sepupunya itu baru tamat belajar dan sedang mencari kerja. Dia dihantar dari kampung oleh ibubapanya untuk tinggal bersama Alia sementara mendapatkan pekerjaan. Zarul akan menghantar dan mengambilnya dari kerja setiap hari. Alia baru saja membeli sebuah kereta kancil tapi dia tidak mempunyai lesen memandu. Nasib baiklah Zarul sudah mendapatkan lesen memandu, secara tidak langsung Zarul menjadi pemandu sementara kepada Alia yang baru memohon lesen memandu dan masih dalam proses pembelajaran.
“Tak apalah! Kakak naik bas saja..”
“Eh! jangan lah..! Zarul datang sekarang..”
“Kan kau nak temuduga.. nanti terlewat pula.. sekarang dah pukul 10.30 a.m..”
“Alah.. masih sempat!” Talian terus diputuskan. Alia mengeluh. Zarul berkeras mahu menghantarnya pulang meski pun dia ada temuduga. Alia terpaksa menunggu. Beberapa minit kemudian terdengar bunyi hon di luar. Alia segera keluar dan masuk ke perut kereta.
“Tengok.. sudah pukul 10.40am.. mana sempat!” ujar Alia sambil menunjukkan jam tangannya pada Zarul.
“Sempat.. bukannya jauh!” balas Zarul sambil ketawa kecil.
“Ha.. nak bawa laju lah tu! Zarul.. kakak rasa baik Zarul pergi tempat temuduga tu, kakak tunggu di kereta.” Cadang Alia.
“Emn.. idea yang baik..” Zarul setuju. Kereta segera meluncur ke tempat yang dituju.
“Eh! Kau temuduga di sini?”
Zarul angguk. Alia kenal benar dengan bangunan itu. Bangunan itu adalah milik ibu Ikwan. Jadi Zarul pergi temuduga di syarikat milik keluarga Ikwan. Alia benar-benar tidak senang hati!
“Zarul kejap saja.. kakak tunggu ya!” Zarul bergeges masuk ke dalam bangunan itu.
Alia mendengar radio sementara menunggu Zarul masuk ke dalam. Tiba-tiba sebuah kereta masuk parking benar-benar di sebelah keretanya. Alia macam kenal kereta itu, dia menoleh memandang pemandunya. Alia tersentak, Ikwan! Lantas Alia berpura-pura tidak melihat Ikwan. Alia menundukkan kepalanya sambil membaca surat khabar yang dibeli Zarul. Bila Alia sudah pasti Ikwan telah pergi barulah Alia tercangak-cangak mencari kelibat lelaki itu. Perasaannya bercampur baur. Dia pun tidak tahu mengapa dia mengelakkan diri dari bersemuka dengan Ikwan. Biarlah hubungan mereka berlalu bagai angin yang datang menyapanya untuk seketika. Rasanya tak perlu lagi Alia hendak berperang besar dengan Ikwan atau Helina. Alia sedar siapa dirinya. Kalau nak rajuk biar pada yang sayang, kalau orang dah tak sudi buat apa Alia nak terhegih-hegih menagih perhatian Ikwan. Namun jauh di sudut hati Alia, dia merasa cukup pedih dan sengsara. Cinta yang mekar di hatinya itu bukannya mudah hendak dibuang dalam sekelip mata!
Ketika dia sibuk merenungi nasib diri, tiba-tiba Zarul muncul mengetuk cermin kereta. Di belakangnya kelihatan Ikwan yang memandangnya dengan wajah penuh misteri. Alia segera membuka tingkap.
“Kakak.. saya telah diterima bekerja di sini.. emn! Ni lah bos saya.. katanya nak jumpa kakak..” kata Zarul sambil tersenyum simpul. Hati Alia menjadi tidak keruan. Dia memandang muka Zarul dan Ikwan silih berganti.
“ Emn.. boleh kita cakap sendirian..?” Kata Ikwan dengan tenang.
Alia terasa lidahnya kelu. Dia yakin, Ikwan mahu berterus terang dengannya kini. Terasa air mata mula bertakung di bibir matanya. Alia mengangguk perlahan.
“Lia naik kereta Wan?” Ikwan membuka pintu keretanya. Alia angguk lagi. Dia segera keluar dari kereta kancilnya dan masuk ke dalam kereta Honda Ikwan.
“Zarul balik dulu lah!” kata Alia pada Zarul. Zarul agak kehairanan kerana bakal bosnya mengajak kakak sepupunya masuk ke dalam keretanya pula. Tapi Zarul tidak membantah. Dia masuk ke dalam kereta dan beredar.
“Kita pergi tempat biasa?” kata Ikwan lembut. Alia tidak menyahut. Dia hanya terbayang puncak bukit di mana mereka selalu menghabiskan masa bersantai di situ. Dengan membawa sedikit bekalan, mereka seolah-olah berkelah di puncak bukit itu. Tapi itu dulu, sebelum kehadiran Helina. Alia yakin, Ikwan hendak bercakap tentang hubungan mereka pada hari ini. Mungkin hari ini adalah hari terakhir mereka mengunjungi puncak bukit yang indah itu.
“Kenapa diam?”
Alia menoleh memandang Ikwan. Ikwan melirik padanya sambil terus memandu. “ Emn.. tak ada apa..” Sahut Alia malas.
Sebenarnya dia mahu meluahkan segala yang berbuku di hatinya. Dia mahu tanya tentang Helina dan mengapa Ikwan merahsiakan hubungannya dengan Helina selama ini. Alia ingin sekali mengamuk dan meradang atas sikap Ikwan yang mempermainkan hati dan perasaannya. Namun, Alia hanya membisu, dia tidak tahu hendak berkata apa kepada Ikwan. Cintanya pada Ikwan begitu dalam dan Alia pasrah jika terpaksa mendengar khabar buruk itu hari ini.
Sepuluh minit kemudian mereka sampai di puncak bukit. Suasana tenang dan dingin. Tapi hati Alia semakin ketakutan. Takut menghadapi kata-kata perpisahan dari Ikwan. Ikwan kejam kerana mempermainkan harga dirinya. Alia tidak mahu kelihatan bodoh dengan mengamuk atau melenting pada Ikwan yang nyata menjadikannya sebagai boneka mainan. Itulah tekad Alia. Alia ingin terus bersabar!
“ Kenapa diam saja dari tadi Lia..?” tanya Ikwan lagi. Dia memandang mata Alia seolah-olah mencari-cari sesuatu di situ. Wajah Alia muram saja. Tidak ada apa-apa di matanya kecuali kedukaan.
“Cakaplah apa yang Wan nak cakap..” ujar Alia membuang pandangannya dari wajah Ikwan. Ikwan menarik nafas berat. Sukar untuk memulakan kata-kata.
“ Wan tahu, Alia kecil hati kerana Wan seolah-olah menjauhkan diri dari Lia.. maafkan Wan..” Ikwan mula membuka kata-kata. Alia mengigit bibir menahan sendu di hatinya.
“Lia pun tidak mahu menghubungi Wan lagi.. Lia juga seolah-olah tidak mahu ambil tahu tentang Wan lagi..” Sambung Ikwan.
Alia terus membisu, dia enggan berkata apa-apa. Biarlah Ikwan menyampaikan kata-kata terakhirnya sebelum mereka berpisah. Alia bersiap untuk mendengar kebenaran yang pasti menyakitkan itu.
“Biarlah Wan berterus terang dengan Lia…”
Alia segera membelakangkan Ikwan. Dia tahu apa yang bakal didengarnya. Airmatanya sudah luruh. Ikwan tidak menyedari airmata itu kerana Alia segera menyembunyikan wajahnya dengan menghadap hutan yang tebal.
“ Wan..” suara Alia serak. “ Boleh tak Wan tak payah cakap apa yang Wan nak cakap..” Alia masih membelakangi Ikwan. Suaranya bergetar, Ikwan mula perasan ada pergolakan dalam perasaan Alia. Dia ingin sekali memujuk.
“ Lia.. Wan tahu Lia merajuk! Wan tahu Wan salah.. Kita berdamai o.k?”
Alia segera berpaling ke arah Ikwan. Ikwan terharu melihat airmata Alia yang bercucuran itu. “Sampai hati Wan.. Lia tahu Lia tak sepadan dengan Wan, tapi kenapa Wan tak terus terang dengan Lia? Sepatutnya Wan tak perlu minta maaf dengan Lia.. biarkan saja Lia! Kawin sajalah dengan kekasih hati Wan tu.. sampai hati Wan permainkan perasaan Lia..” Tersembur keluar semua yang berbuku dihatinya. Wajah Ikwan nampak terkejut.
“Kenapa? Wan tak sangka Lia sudah tahu hubungan Wan dengan Helina? Wan fikir Lia tak tahu Wan nak bertunang dengannya? Cukuplah Wan.. jangan nak siksa hati Lia lagi..” Ucap Alia separuh menjerit. Ikwan tercengang memandangnya.
“ Mana Lia dapat cerita ni?”
“ Itu tak penting.. yang penting mengapa Wan permainkan perasaan Lia.. kenapa Wan mahu bersama Lia sedangkan Wan dah ada Helina..”
“ Lia.. Lia.. Lia! Wan tak faham.. mana Lia dapat cerita Wan nak tunang dengan Helina, sumpah Lia! Dia cuma kawan baik Wan dari kecil lagi. Dia bukan kekasih Wan!”
Alia mula diam, tangisnya reda mendengar kata Ikwan. Mereka berpandangan.
“Betul..?” tanya Alia sambil mengesat airmatanya. Ikwan angguk.
“Tapi kenapa Wan tak kenalkan Lia dengan dia? Kenapa Wan jauhkan diri sejak dia datang?” Wan tarik nafas berat. Dia melangkah ke keretanya dan mengambil sesuatu.
“Nah!”
Beberapa keping gambar dihulurkan kepada Alia. Alia membelek semua gambar itu. Semuanya gambar dia bersama Zarul, ketika dalam kereta, di jalan raya dan di perkarangan rumah.
“Kenapa ada gambar Lia dan Zarul..?” tanya Alia tidak faham.
“Kerana gambar inilah Wan menjauhkan diri dari Lia.. beberapa minggu lepas, satu surat dikirimkan pada Wan. Dalam surat itu ada gambar Lia dan Zarul. Kononnya Zarul adalah tunang Lia.. Lia telah ditunangkan oleh keluarga Lia.. Wan pun frust la bila dapat tahu..” cerita Ikwan dengan tenang.
“Tapi kenapa Wan tak tanya pada Lia?” Kata Alia dengan wajah yang lebih cerah. Sisa-sisa airmata sudah hilang.
“Itulah silap Wan! Wan mahu Lia sendiri yang berterus terang dengan Wan.. tapi Lia sikit pun tidak cakap apa-apa, Zarul tinggal serumah dengan Lia .. tapi sedikit pun Lia tidak memberitahu Wan.. tentulah Wan salah faham. Wan geram, marah dan benci pada Lia sebab tu Wan malas nak layan Lia.. malas nak sambut call Lia.. Manalah Wan tahu Zarul tu adik sepupu Lia.. mujurlah dia datang temuduga tadi, Wan masih cam muka Zarul dalam gambar tu. Wan memang nampak Lia dalam kereta tunggu Zarul tadi, tapi Wan tak tegur Lia kerana Wan masih salah faham dengan Lia, tapi lepas temuduga Zarul tadi, Wan tanya Zarul siapa gadis yang tunggu dalam kereta? Barulah Wan tahu Zarul adalah adik sepupu Lia.. barulah Wan tahu selama ni Wan salah faham dengan Lia.. Wan nak minta maaf, Lia?”
Alia termangu mendengar cerita Ikwan. Rupanya ada kisah yang diluar jangkaannya. Siapa pula yang mengambil gambarnya dengan Zarul dan mengatakannya bertunang? Alia keliru.
“Wan tak tunang dengan Helina?”
“Sumpah tidak! Siapa yang cakap ni..”
“Harun.. sepupu Helina! Katanya Wan memang kekasih Helina sebelum Wan bersama Lia lagi.. katanya tak lama lagi Wan akan bertunang dengan Helina.. Lagi pun Wan semakin menjauhkan diri dari Lia sejak dia datang..” jelas Alia. Dia mula ragu dengan kata-kata Harun.
“Mestilah Wan jauhkan diri dari Lia masa tu, sebab Wan marah pasal gambar Lia dengan Zarul.. Wan malas nak kenalkan Lia dengan Helina kerana masa tu Wan benar-benar salah sangka pada Lia.. maaf ye sayang..” Ikwan menarik tangan Alia dan memandang tepat ke matanya. Alia angguk sambil menarik nafas lega. Dia menyangka Ikwan hendak memutuskan hubungan tapi kini sebaliknya.
“Memang benar Harun tu sepupu Helina, tapi hairan mengapa dia nak menghancurkan hubungan kita pula?” Kata Ikwan penuh tanda tanya. Alia angkat bahu. Kini hatinya lega. Gadis cantik itu ternyata tidak ada apa-apa hubungan cinta dengan Ikwan. Rupanya semua masalah itu hanyalah salah faham dan fitnah orang lain. Cemburunya pada gadis itu hilang serta merta.
“Dan hairan.. siapa pula yang ambil gambar Lia serta hantar kat Wan? Sudah jelas ada orang yang mahu musnahkan hubungan kita?” Kata Alia pula.
“Ya! Mungkin Harun juga?” Alia mengganguk tanda setuju dengan kata-kata Ikwan itu. mereka berpandangan. Saling tersenyum. Mereka tidak peduli apakah motif Harun, yang paling penting kini mereka sudah kembali bersama.
“Maaf ya?” tanya Ikwan sekali lagi.
“Lia juga..” Balas Alia.
“Sia-sia saja Wan bencikan Lia.. tahu-tahu cuma salah faham..” Kata Ikwan sambil ketawa kecil. Teringat akan sikapnya beberapa minggu yang lepas. Seluruh isi rumah menjadi tempatnya melepaskan marah. Berbakul-bakul leteran ibu kepadanya kerana sikapnya menjadi garang tidak tentu pasal. Anak-anak buahnya di pejabat pun tidak berani curi tulang, takut pada Ikwan yang tidak semena-mena bertukar angin. Bos yang dulunya peramah dan mesra menjadi bengis tak menentu. Pantang silap sikit adalah yang kena marah! Semuanya pasal gambar yang diterimanya itu. Helina pun selalu merungut dengan perangainya yang selalu berubah angin. Hendak berlawak jenaka pun susah. Kalau senyum pun bagaikan terpaksa!
“BenarkahWan bencikan Lia?” Tanya Alia menduga.
“ Ya! Benci sangat.. benci tapi rindu..ha ha ha.. merana betul Wan menanggung rindu tidak jumpa Lia beberapa minggu. Kadang-kadang Wan harap Lia akan call atau SMS Wan.. tapi bila buka handset.. sunyi saja..” luah Ikwan tentang perasaannya ketika musim dingin hubungan mereka.
“Lia juga.. nak call Wan.. tapi teringat Helina mungkin sedang bersama Wan..” Ujar Alia pula, mereka tertawa bersama. Rupanya mereka sama saja, cemburu buta!
“Zarul cakap Lia tak sihat? Minta hantar balik rumah..” tanya Ikwan dengan muka bimbang. Muka Alia memang pucat saja tadi.
“Emn..” Alia tersenyum nipis. Kini dia kelihatan berseri-seri.
“Lia sakit apa?” tanya Ikwan lagi sambil sentuh dahi Alia.
“Sakit hati..” jawabnya dengan menahan senyum.
“Oh.. rupanya! Sakit hati kenapa boleh senyum?” ujar Ikwan setelah mendapat tahu. Dia turut senyum meleret. Alia hanya menolak bahu Ikwan dengan manja. Ikwan tertawa melihat riaksi Alia.
“Lia..” Panggil Ikwan dengan suara romantis. Alia mendongak ke arah wajah lelaki yang dicintainya itu. Rindu benar hatinya pada Ikwan. Mujurlah semuanya sudah berubah baik.
“Emn..”
“Jom kita kawin?”
Mata Alia terbelalak. Dia menatap wajah Ikwan minta kepastian akan lamaran yang tiba-tiba itu.
“Kenapa? Tak sudi?”Tanya Ikwan lagi.
“Wan lamar Lia?” Angguk.
“Bunga? Cincin? Takkan nak lamar macam ni saja?” usik Alia dengan senyum nakal. Ikwan ketawa besar. Dia menarik Alia masuk ke dalam keretanya. Alia kehairanan.
“Jom kita pergi beli bunga dan cincin!!” balas Ikwan sambil masuk ke dalam perut kereta. Kereta meluncur laju menuju ke bandaraya.
“Mulai saat ini.. kalau ada apa-apa masalah, kita mesti bincang! Jangan simpan sendiri dalam hati.. o.k?” bisik Ikwan sambil memimpin tangan Alia menuju ke kedai bunga terhampir. Alia mengangguk. Wajahnya penuh dengan senyuman bahagia. Dugaan seperti itu mungkin datang lagi. Tapi kalau saling cinta menyintai, kalau saling kasih mengasihi dan kalau saling mempercayai antara satu sama lain, apa pun dugaannya pasti dapat diredah bersama. Ternyata dugaan cinta itu berlalu juga!

Untuk Sahabat

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan. Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah berasrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat. Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat.

Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku. Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya. Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagi terbendung. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum.

Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku. Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku. Tetapi aku masih sering merasa sendiri.

Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya.

Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik pada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. La takhof, wala tahzan, innallaha ma’ana..Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

Satu Detik Saja

Hari ini mendung awan terlihat gelap berhiaskan kabut yang tebal,aku sedikit malas untuk keluar dari ruang kelas meski kakiku ini ingin segera bergegas untuk pulang menuju kerumah.Tapi sungguh aneh pulang terlalu siang ya pukul 14.00 saat itu cukup siang untuk ku berada dirumah kebetulan teman-temanku sama ingin memanfaatkan waktu untuk refresing sejenak rasanya sudah kita tak bermain menjelajahi pelosok kota..langkah kaki kami berhenti sejenak dipersimpangan jalan menuju lapangan yang cukup ramai menjadi icon dikota kami..kebetulan saat itu sedang ada lomba kepalang merahan lomba itu diikuti beberapa sekolah tingkat SMA/SMK/sederajat sekolah ku pasti mengikuti ini karena selama 4tahun berturut-turut sekolah ku menjadi juara umum lomba ini.sayangnya disini aku hayang melihat sekilas dari kejauhan.aku dan teman-temanku hanya duduk menikmati hirup-pikuk kota ini.namun tak tau kenapa tiba-tiba terlintas dari ingatanku seorang berkacamata yang akhir-akhir ini menyelimuti ruang hatiku dengan sebuah janjinya untuk bertemu denganku.hatiku tiba-tiba berkata "Oh...tuhan andai diantara orang yang memakai baju PMR itu ada dia??" harapanku serasa tak pernah usai bila mengingatnya. padahal tak menutup kemungkinan kesetiaanku ini tak mungkin dibalas dengan ketulusannya.aku yakin ini sangat sia-sia bila melihat posisinya sekarang menjadi ketua osis disekolahnya pasti dia sangat dikagumi oleh orang-orang dan mungkin sangat mudahnya dia mendapatkan seseorang yang dia suka.aku semakin berkecil hati apa yang harus aku tunjukkan kepadanya kepintaran yang dulu ia sebutkan salah satu hal yang membuatnya suka padaku pun sekarang sudah menjadi abu yang usang.aku hanya orang yang sangat biasa dibandingkan dengannya saat ini. sungguh aku malu bila harus bertemu dengan keadaan seperti ini tapi aku sangat ingin bertamu dengannya walau hanya sedetikpun meski hanya satu langkahku,satu kedipku melihatnya.Rasanya itu tidak mungkin terjadi walau hanya satu detikpun..

Rabu, 08 Desember 2010

Rela

Semilir angin malam kembali menyapu wajah Lainia dengan lembut. Menyibak kenangan masa lalu yang sudah lama tersimpan rapi. Memaksa hati untuk mengingatnya. Malam ini, tepat pukul 20.00, Lainia berada di sebuah pantai. Pantai yang menjadi saksi tentang peristiwa masa remajanya. Pantai Teluk Manado. Pantai yang selama 10 tahun tidak pernah dikunjunginya. Pantai yang selama ini berusaha dia lupakan sejak Lainia menginjakan kaki di kota New York. Malam ini. tepat pukul 20.00, Lainia duduk beralaskan pasir putih yang halus tanpa ditemani sebuah bintang. Lainia mengeluarkan barang kesayangannya, menggenggamnya dengan yakin, dan membunyikannya kembali setelah 10 tahun terakhir dilupakannya. Lainia telah berani untuk mengingat kembali masa-masa itu.***Tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu juga Lainia. Ketika semua orang mampu mengungkapkan perasaan mereka dengan tawa riang, Lainia Rosari hanya dapat tersenyum simpul. Saat para remaja saling berbagi dan bertukar cerita satu sama lain, Lainia Rosari hanya mampu bercerita dengan gerakan tangan atau bahasa tubuhnya. Lainia sudah sangat mengerti dengan keadaannya. Diusianya yang beranjak 17 tahun, Lainia sudah mampu berfikir lebih dewasa. Lainia tidak pernah menunjukan kecemburuannya ketika mendengar tawa dan cerita riang remaja seusianya karena Lainia masih dapat mengungkapkan seluruh perasaannya melalui benda kesayangannya. Angklung.Lainia bukan remaja yang tergila-gila akan musik karena Lainia tahu bahwa dia tidak memiliki bakat dalam hal bermusik. Namun keadaan menjadi berbeda ketika Ayah Lainia pulang bertugas dan membawa satu set angklung berukuran kecil untuk putri kecilnya yang waktu itu berusia 6 tahun. Saat itu juga Lainia menyukai angklung, Lainia menyukai suaranya, terdengar sangat alami. Bahkan ketika ayahnya harus dipanggil Tuhan, Lainia membawa angklung kesayangannya dan duduk di samping batu nisan ayahnya. Lainia menggoyangkan kedelapan angklungnya secara bergantian. Angklung itu menggeluarkan nada-nada indah, layaknya lagu pengiring untuk menghantar kepergian ayahnya. Angklung mampu menunjukan kecintaannya pada pantai. Pantai Teluk Manado. Tempatnya berbagi kesepian. Setiap hari, tepat pukul 20.00, Lainia selalu duduk beralaskan pasir putih ditemani oleh suara debur ombak. Tiap malam itu pula Lainia selalu membawa angklungnya, memainkan dengan lembut, seakan sedang bercerita pada kesunyian malam. Lainia percaya, angklungnya akan membawanya pada kisah hidup yang begitu berarti. *** Suara angklung Lainia beradu dengan kerasnya ombak malam. Menyatu menjadi nyanyian malam yang menenangkan hati Lainia.Tiba-tiba Lainia berhenti menggoyangkan angklungnya, dia mendengar suara lain yang tidak asing. Suara angklung. Tapi bukan suara angklung miliknya karena nada angklung itu lebih tinggi satu oktaf dari miliknya. Pandangan Lainia menyapu seluruh sisi dari pantai, mencoba mencari sumber suara angklung itu. Namun dia tidak menemukannya. Lainia berjalan menyusuri pantai, suara angklung itu masih tetap terdengar.Ternyata benar, Lainia melihat seorang lelaki muda, duduk di tepi pantai sambil menggoyangkan sebuah angklungnya. Celana lelaki itu sudah basah oleh ombak kecil yang sesekali menghampirinya. Lainia menghampiri lelaki itu dengan perlahan.Lainia menyentuh pundak lelaki itu, dia menoleh dengan wajah kaget. Lainia membalas senyuman itu sambil mengangkat satu set angklungnya yang berukuran kecil, berusaha memberi tanda bahwa dia juga membawa benda yang sama dengan lelaki itu. Lelaki itu tersenyum, mengerti maksud Lainia. Dia mengulurkan tangan lalu menulis namanya pada pasir yang tidak terkena air. Reynold.Lainia merasa aneh karena lelaki itu tidak menyebutkan langsung namanya. Tapi Lainia tidak terlalu memikirkannya lalu dia juga menuliskan namanya di pasir.Rey kembali tersenyum. Rey menggerakan bibirnya, seperti orang berbicara, namun kalimatnya tidak jelas. Rey juga berusaha berbicara melalui bahasa tubuhnya. Akhirnya Lainia sadar bahwa Rey bisu, sama seperti dirinya.Mengetahui hal itu Lainia merasa sangat senang karena dia menemukan seseorang yang memiliki keterbatasan dengan dirinya.Malam itu, Rey dan Lainia terlibat pembicaraan yang cukup jauh, menggunakan bahasa yang tidak banyak dimengerti orang lain. Membicarakan kecintaan pada angklung dan kekaguman mereka terhadap pantai.Malam itu, pukul 20.00, Pantai Teluk Manado menjadi saksi awal perkenalan mereka.***Rey dan Lainia kian hari kian akrab karena satu sama lain saling merasa nyaman. Lainia senang karena berhasil menemukan teman yang memiliki banyak kesamaan dengan dirinya. Begitu juga Rey, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia mempunyai sahabat yang juga bisu.Tiap malam, Rey dan Lainia bertemu di pantai untuk sekedar bertukar cerita atau hanya menikmati indahnya malam. Satu hal yang tidak pernah terlupa, mereka selalu membawa angklungnya. Rey hanya mempunyai satu angklung. Angklung itu pemberian kakeknya sebelum wafat. Selama hampir 17 tahun, Rey tinggal bersama kakeknya karena orang tuanya tidak menerima kehadiran Rey yang bisu. Oleh karena itu Rey sangat mencintai angklungnya. Angklung bernada re, mirip dengan inisial namanya. Rey juga memiliki hobi yang sama dengan Lainia, mengunjungi pantai dan menghabiskan waktu di sana. Melepas kerinduan pada kakeknya yang dulu sering mengajak Rey untuk melaut. Rey tidak akan pernah bisa terlepas dengan pantai dan angklung.***Cinta tidak pernah egois. Cinta datang pada setiap insan,tanpa membedakan kaya atau miskin, tua atau muda bahkan cinta juga datang pada orang yang memiliki keterbatasan fisik.Cinta datang pada hati Rey dan Lainia, dua orang remaja yang memiliki keterbatasan, hobi dan kecintaan yang sama. Mereka sudah menyadari perasaan itu, meski tiada kata cinta yang terucap karena hati mereka yang bicara.Malam ini, pukul 20.00, Rey sudah mempersiapan kejutan kecil untuk Lainia. Rey menyewa perahu kecil, dia akan mengajak Lainia menikmati indahnya malam di tengah laut.Lainia tampil sangat berbeda. Dia menggunakan dress berwarna putih yang menjuntai lembut hingga lututnya. Lainia merasa malam itu adalah malam yang sangat spesial. Setelah semua siap, Lainia dan Rey mendayung perahunya cukup jauh dari bibir pantai. Malam itu hanya terdapat beberapa titik bintang, namun Rey dan Lainia tidak kecewa karena mereka masih ditemani bulan sabit.Ditengah sepinya malam hanya suara angklung Rey dan Lainia yang terdengar. Lainia hanya membawa sebuah angklung bernada la. Salah satu nada yang disukainya sejak bertemu dengan Rey. Angklung bernada re dan la semakin kencang terdengar, beradu dengan hembusan angin malam.Malam semakin larut, Rey mulai menyesali keputusannya untung mengajak Lainia ke tengah laut saat malam hari karena angin sangat kencang dan ombak pun tidak bersahabat. Berkali-kali perahu mereka sedikit oleng karena besarnya ombak. Akhirnya Rey memutuskan untuk kembali ke bibir pantai namun Lainia menolak. Lainia belum merasa puas dengan suasana tersebut.Sayangnya keputusan Lainia salah, ombak semakin besar. Perahu mereka yang hanya berukuran kecil tidak dapat menahan goncangan air yang besar. Rey dengan segera mengayuh perahunya. Sayang ombak terlalu besar. Perahu itu oleng dan akhirnya terbalik.Lainia sangat panik karena dia tidak bisa berenang. Dinginya air juga membuat tubuhnya terasa membeku. Rey melihat keadaan Lainia yang panik, dia berusaha mendekatkan dirinya dengan Lainia yang semakin ketakutan sambil mendekap angklungnya. Tubuh itu menggigil, tiba-tiba kakinya keram. Dia kesakitan dan tidak tahu harus berbuat apa. Dalam keadaan seperti itu, dia hanya mampu berdoa dalam hatinya, Tuhan selamatkan nyawanya, kirim malaikatMu untuk menolongnya. Jika memang kami tidak bisa bersama lagi di sini, biarkanlah aku yang menunggunya di sana. Aku rela meninggalkannya, asal dia selamat.Malam itu, bulan sabit merekam bukti kekuatan cinta dua anak manusia itu. Angklung bernada re dan la pun turut menjadi saksi bisu kejadian itu. Kejadian yang merubah segalanya.**Lainia membunyikan angklungnya dengan gemetar. Angklung bernada re dan la. Angklung yang selama ini membuatnya merasa sangat bersalah. Angklung yang selama 10 tahun ini melambangkan kedukaan baginya. Angklung yang berusaha dilupakannya, namun gagal. Angklung bernada re dan la terlalu banyak menyimpan kenangan. Angklung itu telah menjadi saksi bisu kepergian Rey. Kepergian yang tidak pernah membuat Rey kembali lagi. Akhirnya Lainia menyerah pada waktu, bahwa segala kenangan itu masih tersimpan di lubuk hatinya. Tanpa sadar, air mata telah menetes perlahan di pipi Lainia. Air mata yang melambangkan kerinduan. Kerinduan pada masa lalunya. Kerinduan pada tokohnya.Tiba-tiba tangan lembut mengusap air mata Lainia.Ternyata Rey. Rey tersenyum sambil membelai rambut Lainia.“Aku tahu apa yang kamu rasakan. Tapi biarlah masa lalu itu tersimpan di hatimu. Kini kita akan memulai lembaran baru. Dia juga akan bahagia di sana jika melihat kamu bahagia,” ucap Rey tulus.Lainia mengangguk sambil tersenyum.“Sekarang kamu harus istirahat. Besok pemotretan dimulai pukul 08.00, kamu harus terlihat segar, supaya foto kita bagus hasilnya.”Rey menggandeng tangan Lainia dan mengajaknya kembali ke hotel. Sebelum pergi Lainia mengajak Rey ke pinggir pantai. Lainia mengeluarkan sebuah undangan, Lainia menghela nafas panjang dan akhirnya meletakan undangan itu pada gelombang air pasang. Sebuah undangan pernikahan. “LAINIA ROSARI DAN REYHAND XAVERIUS.”Undangan itu telah menjadi tanda bahwa Lainia sudah ikhlas melepas semua kenangan pahitnya dan mencoba membuka lembaran baru.Malam itu, pasir putih kembali menjadi saksi kehidupan Lainia, saksi kehadiran Rey yang baru. Reyhand. Rey masa lalunya sudah berada di tempat terindah, menunggu Lainia hingga saatnya tiba. Tapi Reynold akan tetap menjadi bagian dalam hati Lainia. Bagian yang tidak bisa dipisahkan.Angklung bernada re dan la akan tetap selalu terdengar meskipun kini pemilik angklung bernada re adalah orang yang berbeda. Angklung bernada re dan la akan tetap mempersembahkan nyanyian malam yang menenangkan hati Lainia.

Menanti

Dedaunan masih bergoyang, laju kendaraan makin tak tertahankan lagi, seorang anak kecil bersepeda sangat dekat dengan jalan raya, membuat siapapun yang melihatnya menjadi berdebar-debar. Taman ini terlalu sepi, biasanya banyak orang yang datang kesini, orang tua, anak-anak tak luput para orang dewasa yang sedang di mabuk cinta. Sepi ini mungkin terasa amat terasa bagiku, namun hatiku tak melebihi kesepian ini, rasanya tak ada lagi suara di dunia ini yang dapat terdengar di telinga.Sepi.... seorang diri.... begitu hatiku berkata. Hatiku mulai bimbang, sebelah masih memikirkan penyebab rasa sepi ini. Seekor kupu-kupu hitam mendekati bunga mawar itu, sejenak kulihat kupu-kupu itu akan mendekat ke dalam warna merah itu, tapi entah ada apa dia tak jadi mendekatinya dan malah pergi terbang tinggi hingga tak terlihat lagi karena sinar matahari mulai meninggi. Taman ini mulai ramai, sejumlah anak tk mulai datang dibelakang mereka ada 2 wanita yang kemungkinan besar itu adalah pengajar mereka. Mereka berlarian kesana-kemari, tertawa bersama tanpa ada masalah. Andai aku bisa seperti itu, mungkin aku bisa melakukannya tapi entah kapan, menanti rasa sepi ini terbawa oleh sinar mentari seperti kupu-kupu yang terbang tadi.Bangkit dari tempat duduk, menatap mentari yang mulai terasa panas, mencoba tuk melupakan rasa sepi ini, semoga saja penyebab sepi ini bisa segera kembali, dan membuat hariku seperti anak-anak tk tadi,bisa berlari dengan penuh tawa. Ku jalani jalan taman ini kembali, melewati anak-anak tadi dan dengan sihir mereka membuat ku tersenyum pada mereka. Sepi, oh sepi kapan kau kembali,
kumenunggumu di sini.

Karma??? Oh No?!!!!2

Tak sabar cewek bawel itu menunggu telfon dari Radit. Bolak-balik dia melihat jam di hapenya. Jam 10 malam. “Baru jam segini jugak. 2 jam lagi baru jam 12 teng. Hadoohh... nggak sabar aku la. Gimana ya tanggapan dia? Di terima pa nggak ya? Sepertinya sih dia bakaln bilang iya, tapi..... “, Keza berpikir sejenak. “Sebenarnya aku serius nggak sih dengan pernyataan yang aku bilang ke Radit. Diakan teman aku sejak SMP masa aahabat jadi cinta. Aku kan awalnya hanya bercanda doang di coment-coment-an kemaren kok jadi keterusan gini ya. Apa aku harus jujur sama dia kalok aku hanya maen-maen. Tapi, ntar kalok aku jujur takutnya dia udah nganggap serius. Kan udah kelewatan banget becanda aku ke dia. Aduh..... aku jadi bingung sendiri sama ulah ku. Huuhhh... mmmm.... Apa ni karma buat aku y, yang udah ngecewain sekian cowok yang udah pacaran ma aku? aku takutnya di campain sama Radit seperti yang aku lakuin sama mantan-mantan aku. Aduh Keza, jangan mikir yang macam-macam deh, lebih baik lo hapus pikiran lo tentang karma dan sebagainya yang bikin lo macam orang bodoh kek gini. Lebih baik lo tunggu z kabar dari si Radit itu”. Lagu ANJELL-Promise yang melantun merdu terdengar keras dari telfon genggam Keza. Sengaja dia membiarkan sedikit lama telfon genggamnya berdering di tangan lembutnya sebelum di angkat. Getaran Handphone itu memberi reaksi terhadap debar jantung Keza, Da-dig-dug, spot jantung Keza saat itu. “Hallo”, sahut Keza singkat. Begitu pula dengan Radit. Intermezo selepas itu. Tak ada yang mau membuka forum penting itu. Selang lima menit basa-basi, Radit pun membahas masalah itu, “lu beneran serius sama aku?, kok aku masih gag yakin ya...”, Tanya Radit penasaran. “Ya serius dungx. Masa’ hal yang beginian aku becanda. Emang lu gag yakinnya dimana, biar aku luruskan supaya lu tau aku tu emang beneran serius”, jawab Keza ceplos. “Ya sulit aja percaya sama lu. lu kan orangnya bocor banget. Becanda aja bawaannya. Seorang Keza gitu loch. Udah ngaku z deh kalo lo tu gag serius. Becanda. Ya kan????”, tekan Radit. Keza terus berusaha membuat Radit untuk percaya akan setiap kata-kata yang di lontarkannya. Sulit bagi Keza sebenarnya untuk mengatakan itu semua. Karna dia sendiri masih bingung akan tingkahnya itu. butuh waktu 8 menit untuk meyakini Radit. Cowok cuek itu pun resmi menjadi pacar Keza. Mereka sepakat tahap awal ini adalah masa penjajakan untuk saling mengenal pribadi masing-masing karna mereka sadar bahwa hubungan long distance (jarak jauh) sulit di tegakkan bila pondasi tidaklah bagus. Seminggu –dua minggu mereka dapat menciptakan komunikasi diatas rata-rata. Segala bentuk perhatian di curahkan Keza kepada Radit dan begitu pula sebaliknya. Komunikasi yang baik sealau Keza jaga dengan harapan Raditlah sosok pria yang dicarinya. Keza mulai serius dengan hubungan yang di hadapinya. Namun kecemasan Keza terwujud seiring berjalannya waktu. Tiba di minggu ketiga, komunikasi yang telah di upayakan Keza mulai merosot. Tak ada lagi perhatian, tak terdengar lagi suara cowok cuek dengan ciri khas ketawa lepasnya yang begitu gampang di ingat. Miss comunication telah di depan mata. Saat yang di takutkan Keza menyapa ketika dia mulai menyayangi Radit. Radit telah mengambil hati Keza yang tulus menyayanginya dengan respon yang negatif. Ntah apa yang membuat Radit enggan menghubungi Keza kembali. Dia pun mengikuti perubahan sikap cowoknya, dengan tidak menghubunginya. *** Keza dan Sofi janjian untuk main-main ke mall dengan tujuan ngilangin suntuk akan masalah yang menyinggahi Keza. Mereka masuk ke salah satu tempat makan di sana. “Kenapa lo Za, ada yang aneh dari raut muka lo. Muram. Lebih keliatan cantik”, celetus Sofi dengan cueknya. Dengan wajah sendu Keza memulai ceritany, “Radit, Sof. Radit”, membuat Sofi bingung. Kening mulus Sofi mengkerut. Lanjut Keza, “Dia uadah sebulan gag pernah ngubungi aku. Miss comunication. Punya cewek baru mungkin dia disana sampek-sampek lupa gitu aja sama aku. Trus aku mesti gimana dong?”, manyun. “Tu la makanya dulu jangan suka mainin cowok lu. Hargai sedikit perasaan mantan-mantan lu. Gak enak kan di sia-siain. Sakit. Kayak gini la rasa yang dialami mantan-mantan lu saat lu acuhkan dia yang membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari dirimu”, gerutu Sofi panjang lebar. Sofi lebih manyun dan meninggikan tepi bibir kananny dan mengerutkan hidungnya. “Ya.... Tapi mau di gimanain lagi, nasi udah jadi bubur. Terima gag terima lu kudu harus hadapi karma yang sekarang jelas-jelas ada di depan mata lu”, Keza memotong pembicaraan sohibnya itu yang menyalahkan sikapnya di masa lalu dengan mata terbelalak dan menegakan badan bungkuknya mengahadap Sofi, “Apa lu bilang?! KARMA!!”, tekan Keza. “Iya, K.A.R.M.A. KARMA!”, mengejakan kata itu untuk menyindir Sofi, “Karma itu sekarang lagi berpihak sama lu. Tau gag lu, si karma itu sekarang lagi ngejek-ngejekin lu dengan julurin lidahnya sambil naik-turuni kedua tangan yang ada di kepalanya. Week...week...weeek...”, sambil memperagakannya kepada Keza. “Kalo gitu, lu dong si karma itu. huuuh...”, kesal Keza dan langsung ngeloyor pergi. “Kumat deh kebiasaannya. Ngambek gag jelas giiimmmanaaaa gitu”, geleng-geleng kepala Sofi di buatnya. “Za... ya... Ni anak malah beneran pergi lagi”, buru-buru Sofi beranjak dari tempat duduknya sambil menyedot minuman dinginnya, “Keza. Tunggu dong. Keza!”, teriak gerutuan sofi mengejar Keza. endingnya sedih or malah kebalikannya

Karma??? Oh No?!!!!

Lo tau apa itu karma? Pasti lo semua tau dong. Well, pernah nggak ngerasain karma itu gimana atau bahasa ngetrennya pernah kena karma nggak? Denger-denger si nggak enak. Okelah, kebanyakan mangatakan karma itu ada dan ada juga yang bilang karma itu nggak ada. Mana nie sumber yang dapat di percaya? (hanya kamulah yang tahu) heheheh.Keza. Cewek manis, simple, bersahabat dan super humor ini masih ragu akan karma. Satu sisi dia berpikiran bahwa karma itu timbal balik dari perbuatan menyakitkan yang telah kita lakukan ke pasangan kita sebelumny dan sisi lainnya hal yang serupa tapi tak mirip itu telah memang diatur oleh Tuhan dan memang harus di jalani sesuai yang telah di tentukan-Nya. Namun, sejauh ini cewek kelahiran Medan ini belum merasakan yang namanya ‘karma’. Dan dia berharap kalau memang suatu saat dia merasakan nggak enaknya karma tersebut, itu bukan lah dendam yang di berikan tuhan kepadanya tapi sebuah ujian yang dapat mendewasakan dirinya.Berawal dari coment-coment-an status teman Keza, Aiz di jejaring sosial facebook. Status Aiz, “Cinta yang hilang datang dan kembali”. Keza pun meng-like status Aiz dan dapat mengecoh perhatian Radit, teman Keza dan Aiz sejak SMP. Radit, cowok cuek dan humoris ini teman sekelas Keza semasa SMA dan sekarang kuliah di Instiper, yogyakarta. Dan satu lagi teman dekat Keza, Sofi. Sofi teman Keza sejak SMP juga dan sekarang kuliah di salah satu universitas swasta yang sama begitu juga dengan Aiz.“Gaya kao lah anak muda jangan lebai kali”, coment Radit. “Selo la yang anak tua tu. Bising x pond.ck”, balas Aiz. Keza pun ikut mengomentari status Aiz yang telah menyita perhatiannya, “ntah nie cie Aiz. Macam tak ada status lain zach yang lebih berbobot. Hahahahah...”. Selang beberapa komentar yang telah sibuk mengurusi status si Aiz, Sofi pond ikut ambil alih meramekan, “hahahah... parrrraahhhhh ko Aiz”. Kami pun semakin gencar memojokan status Aiz.Namun Aiz berhasil mematahkan semua perkataan kami berlebih-lebih untuk Keza dan Radit, “Aeh klen. Kompak kali la. Kemek-kemek la yang udah jadian tu.... Berhasil jugak q nyomblangin klen. Mak!!! Comblangin dong.... ckckckckck”. Keza dan Radit pun menapis semua perkataan Aiz yang ngawur sama sekali. Namun Sofi ikut mendukung perkataan Aiz. Dan Keza pun mati kata-kata dan tak tau hrus berkata apa lagi. Memang Aiz pernah bilang sama Keza kalau dia ingin nyomblangin Keza sama Radit. Tapi Keza menganggap itu hal yang imposible. Karna Radit hanya di anggap sebatas teman dan begitu pula sebaliknya.Namun, siapa yang tahu ternyata ejekan yang di lontarkan Aiz dan Sofi membuat hati Keza gelisah tak menentu memikirkan Radit. Sementara Radit tidak mengambil pusing masalah itu. “Sepertinya aku ada rasa deh sama Radit. Dia mikirin hal yang sama nggak seperti aku?? Ihhh!!! Apaan sih nggak mungkin aku suka sama Radit. Dia itukan teman aku sejak SMP dan aku baru-baru z sedekat ini sama dia. Nggak mungkin secepat ini aku bisa suka sama dia kan??? Tapi kok aku jadi seperti ini ya??? Apa karna ini ada hubungannya dengan coment-comentan yang di gosipkan sama si Aiz dan Sofi?? Tapi kalau emang bener, kenapa emosi aku jadi kepancing??? Aduhhh.... Nggak ngerti lah aku dengan semua ini. Aaaarrrrrggghhhh.....”, gumam Keza dalam hati. Namun itulah Keza yang cepat sekali menyukai lawan jenis yang menarik perhatiannya.Coment Keza pun semakin menggila sesuai dengan orangnya yang kocak abiz. Dia mengikuti alur pembicaraan Aiz yang telah menganggap mereka pacaran. Keza mulai menunjukkan signal-signal rasa sukanya kepada Radit dengan menggunakan kata sayang, cinta dan sebagainya khalayaknya orang pacaran dan yang lebih meyakinkan Aiz, Radit pun mengikuti alur perkataan Keza. Dia juga menggunakan kata-kata sayang dan cinta yang tanpa di ketahuinya membuat Keza merasa di awang-awang walaupun dia nggak tahu itu sungguh-sungguh atau hanya canda belaka.Keza pun mulai meyakinkan dirinya bahwa dia menyukai Radit walaupun pada saat yang bersamaan ada lelaki yang menyukai Keza namun Keza tidak merspon orang tersebut.“Dit, apa yang aku tulis d wall tadi beneran lo. Aku nggak bercanda. Gimana dit?”, pesan berani yang di kirim Keza via fb ke Radit. Baru kali ini Keza nembak cowok lo.“Alala Za, lu pasti cuman becanda doang kan?? Paling ini kerjaan kao ma si Aiz. Ya kan??? Ngaku z deh”, reply Radit tak percaya.“Ngaak dit, aku serius. Lu mau nggak jadi pacar aku?”, tekan Keza meyakinkan.“Hahahah.... Aku masih kagak percaya kalau lu ngomong kek gini sama gw. Secara lo itukan orang nya jarang serius bawaannya becanda mulu. Mana mungkin seorang Keza bisa ngomong seperti ini”.“Ya ampun Radit, mesti gimana lagi sih aku ngeyakinin elu supaya elu tu sadar kalau gw ni bener-bener serius. Sayangnya lu sekarang di yogya, cobak lu disini pasti lu nggak bakalan ngomong seperti itu ke gw karna lu nggak liat ekspresi gw z makanya lu bisa ngomong seperti itu.”“Tapi.... Gw masih tetap ragu ni sama perkataan lu semua barusan.” “Mmmmm.... Aku nggak tau mesti gimana ngeyakinin lu. terakhir ni Aku tayak sama lu y, lu mau nggak jadi pacar ku??? Kalok lu nggak jawab iya or tidak aku nggak bakalan nanyak maupun bahas hal ini lagi. Soalnya masih banyak cowok yang ngantri ni.”“yaudah deh, kalau nggak gini z. Nanti malam jam 12-san gw telpon elu. Tapi kirimin no lu yang aktif. Ok jelek.” “08576118****. Yaudah aku tunggu ntik malam ya”, sambil tersenyum Keza menulis pesannya di depan layar laptop, sesekali dia mengatakan ‘yesss’ sambil mengepal tangan kanannya dan menaik-turunkan ”, jawab pesan Keza terakhir kali.tangannya.“Iya Jelek ”, pesan“huuh kesal campur senang ini Keza tulis terakhir untuk Radit. Setelah itu Keza kekeh sendirian d tempat tidur kesayangannya..

Jumat, 03 Desember 2010

Realita Putus Cinta

Yang namanya cinta, pasti ada yang namanya pertemuan dan yang namanya perpisahan. Nah, perpisahan ini bisa dikarenakan oleh si pemain cintanya dan ini dinamakan putus cinta. Di saat kita merasa bahwa hubungan kita sudah tidak ada kecocokannya, pasti saya bisa jamin cepat atau lamabat si cowok minta putus. Tapi, dalam hal ini para cowok harus hati-hati nih. Banyak orang yang nggak sadar adalah “cowok susah mutusin cewek”. Jauh berbeda dengan cewek kalau mau mutusin cowoknya. Mau tau bagaimana kebanyakan orang mutusin cintanya, ini dia : Telepon berbunyi, cowok menangkat telepon.Cowok : Halo...Cewek : Halo...!!!Cowok : Iya? Ini kamu sayang?Cewek : Iya ini aku lah bego! Hening...... Cowok : Koq...kamu gitu sih sayang? Ada apa sih?Cewek : Kayaknya kita udah gak bisa nerusin hubungan ini lagi!Cowok : Lho? Maksudnya?Cewek : Kita putus!!!Cowok : Lho? Kenapa?Cewek : Kita Putus!!! Klik. Telepon ditutupDan si cowok diputuskan dengan mengenaskan Itulah tadi, bagaimana begitu gampangnya cewek mutusin seorang cowok. Nah, kalau yang ini ceritanya beda lagi. Dan inilah yang terjadi kalau cowok mau mutusin ceweknya. Kita lihat. Telepon berbunyi, si cewek mengangkat telepon. Cewek : Halo...Cowok : Halo... ini aku sayang!Cewek : Iya aku tau lah, bego! Hening.... Cowok : Sayang... aku mau ngomong sesuatuCewek : Apaa?Cowok : Kayaknya... kita udah gak cocok dehCewek : Maksud kamu?Cowok : Kita kayaknya... harus... putusCewek : Tunggu dulu .... tunggu dulu Hening.... Cewek : Kamu mau putusin aku?Cowok : Iya...Cewek : Kenapa emangnya?Cowok : Abis... kamu marah-marah terus...Cewek : Aku marah emnag gara-gara pa?Cowok : Gara-gara... uhh... gara-gara... aku?Cewek : Nah.. jadi siapa yang salah?Cowok : Aku?Cewek : Nah, jadi ngaak putusnya?Cowok : En-enggak deh...Cewek : Kamu harus berubah ya!Cowok : Iya... sayang... Klik. Telepon ditutup, Enggak jadi putus Nah, bila kita lihat dari contoh di atas, bahwa yang namanya mutusin cewek itu sangat sulit, penuh dengan manipulasi psikologi, penuh pertanyaan, penuh permainan akal yang luar biasa, perlu konsentrasi tinggi. So... kalau kamu udah nggak tahan sama cewek kamu... saya doakan agar berhasil mutusin cewek tersebut, karena memang susah banget deh. Semoga sekarang kalian mengerti bagaimana caranya menghadapi cewek khususnya dalam fase “mutusin”. Ingat doa kami, cowok-cowok teraniaya lainnya, menyertaimu.

Kesetianku

Mirna Setiarini. Itu namaku. Biasa dipanggil Tia. Namaku mengandung kata setia, dan hal itu terjadi pula padaku. Tak hanya sebuah nama, tetapi menjadi sifatku. Aku mempunyai sifat ini sejak aku kecil. Jika aku disuruh menunggu oleh orang yang aku cintai, seperti ibuku, aku akan menunggu di tempat itu sampai ibu kembali. Aku selalu setia pada orang-orang yang aku cintai. Aku selalu berpendapat, mungkin memang karena aku ditadirkan meiliki nama dan sifat yang sama yaitu setia. Karena hal itu, aku selalu berusaha untuk setia. Hingga suatu saat, kesetiaan pada diriku hilang. Ini bermula dari... “Tia!!!!! Awaaaaaasssssssssssss!!!!!!” teriakan Sinta, temanku yang sangat akrab alias sahabatku, mengingatkanku adanya bahaya besar akan menimpaku. Kutengok sekilas ada sebuah motor melaju kencang ke arahku. Tak tau apa yang harus kulakukan, karena kejadian itu sangat cepat. Aku hanya terkejut, dan berteriak keras karena refleksi, dan kuat-kuat di dalam hati aku memohon kepada-Nya agar menyelamatkanku. Entah apa yang telah terjadi padaku, sesaat ku linglung, melihat ke arah sekitar. Aku mendapati sosok seorang cowok tampan dan terlihat dewasa. Nampaknya, dia beberapa tahun di atasku. Dalam sekejap, aku terbius oleh pesonanya. Tak sadar dengan posisiku yang tengah berada dalam setengah pelukan cowok itu. Dan aku tersadar oleh deheman Sinta. “Ehm, ehm.” Dengan reflek, aku segera melepaskan diriku dari pelukan cowok itu. “ Tia, kamu gak pa-pa?” tanya Sinta agak khawatir, atau pura-pura khawatir. Aku tak yakin dengan ekspresinya. “ Kamu, serius bilang itu padaku?” tanyaku menyinggung. “Ya ampun, Tia. Masa sih, aku bilang ini semua buat cowok ini? Yah jelas kamulah, kamu ka yang hampir ketabrak. Atau, jangan-jangan, kamu..., gak percaya lagi sama aku? Aku serius ngawatirkanmu. Aku ini sahabatmu, ya.” Celotehnya panjang lebar. “Ehm. Sory, kalo aku ngganggu. Ehm, kamu udah nggak pa-pa? Apa ada yang sakit?” deg. Perasaan apa ini? Mendengar suaranya, serasa aku mau pingsan. ”Tia! Kamu gak pa-pa? Kok bengong.” ups. Ada apa sih ma aku. ”ehm. Nggak. Nggak pa-pa kok. Ehm, makasih ya, udah nolongin aku. Aku nggak tau lagi harus gimana buat balas semua ini.” ”Buat apa balas budi segala, ya? Kan emang kewajiban dia sebgai sesama manusia. Iya kan mas?” tiba-tiba si Sinta nyronol gitu aja bikin malu. ”ssstt. Apaan sih. Gak sopan amat.” ”Eh, nggak. Bener kok. Kamu nggak perlu pake balas budi segala. Aku tulus kok. Oya, namaku Jerry.” dia menyodorkan tangannya padaku. Entah apa aku sedang mimpi. ”A..aku Tia” baru salaman sebentar, Sinta menyerobotnya. ”Aku Sinta.” Setelah itu, kami melanjutkan perkenalan di sebuah kafe terdekat dari TKP. Satu bulan kemudian, aku ditembak oleh Jerry. Aku sangat senang sekali. Selama sebulan ini, sejak pertamaku berkenalan dengannya,aku semakin dekat dengannya. Dan akhirnya, sekarang adalah acar puncak. Aku dan Jerry, resmi jadian. Ternyata, Sinta juga senang aku dapat jodoh. Walaupun, pada saat pertama kali bertemu, tampaknya, ia tak suka dengan Jerry. Malam ini, aku dan Jerry akan merayakan hari jadian kami. Hanya acara kecil-kecilan di sebuah kafe. Aku mengajak Sinta dan pacarnya, sehingga kami double date. Aku memang sebelumnya, belum pernah pacaran. Padahal, aku sudah 17 tahun sekarang. Untungnya masih ada yang mau denganku.(hihihi) Aku tetap menerapkan kesetiannku pada Jerry, orang yang paling aku cintai. Dan aku sudah menjalaninya selama 1 tahun. Hingga aku lulus SMA sekarang. Aku bahagia, aku masih setia padanya, begitu pula dengannya. Aku merasa, namaku ini benar-benar membawa berkah. Hubunganku dengan Jerry masih langgeng hingga sekarang. Dan aku akan memasuki universitas yang sama dengan Jerry. Aku berharap, aku bisa memasuki fakultas yang sama pula. ”Hi, sayang. Gimana hasil tesmu? Kamu jadi masuk UI kan, jurusan seni? Sama sepertiku.” Jerry menemuiku di teras rumah. Aku merasa sedih sekali, mau mengatakan sebenarnya. ” Hhh.. Gagal. Gagal Jerry. Aku gagal, masuk jurusan seni UI, tapi aku keterima di jurusan ekonomi UI.” kataku dengan sedih. ” Sudah, sayang. Jangan sedih. Nggak pa-pa. Mungkin ini takdir. Tapi kita masih satu universitaskan? Sudah, jangan sedih.. cup..cup..cup” katanya menenangkanku.. kecewa sih, tapi, aku masih bisa ambil positifnya. Aku masih satau kampus dengan Jerry, pacarku tersayang. Satu semester, telah aku lewati. Aku bahagia, hubunganku dengan Jerry, kehidupan kuliahku, kehidupan di rumah. Masih langgeng aja. Tapi, ada laporan tak mengenakkan dari sahabatku yang satu ini. ”Tia, kamu harus percaya ma aku. Jerry, bukan cowok yang baik seperti dulu. Dia udah berpaling sama kamu. Dia tuh selingkuh. Aku liat sendiri dengan mata telanjangku.” telingaku terasa semakin panas. ”Stop. Stop, sin. Itu nggak mungkin. Kamu tau kan , dia itu pasti setia sama aku. Aku setia sama dia. Jadi, nggak mungkin hal itu terjadi. Kamu pasti salah orang. ” Dibilangin nggak percaya. Kamu itu. Kamu itu, nggak lagi dibutain karena cinta, tapi, obsesimu terhadap namamu yang indah. Yang bilang membawa berkah. Selalu setia. Okey. Mungkin kamu setia. Tapi, Jerry. Jerry bukan kamu. Jadi, belum tentu dia setia.” ”Stooooooooop! Sin, jangan lagi kamu merendahkan Jerry. Dan jangan pernah kamu menyepelekan tentang namaku. Itu memang sudah terbukti. Sudahlah. Aku mau sendiri. Jangan ganggu aku.” aku benar-benar kesal.aku meninggalkannya di kelas. ”Oke. It’s up to you.” suaranya masih terdengar. Aku menjadi sangat kesal. Sinta adalah sahabatku. Tapi dia nggak mendukungku. Aku kesal. Kesal sekali. Entah kenapa, aku, aku buta. Buta sekali. Benar. Benar sekali yang dikatakan Sinta. Sahabatku. Kenapa aku tak percaya dengannya. Setelah seminggu aku bertengkar dengan Sinta, diam-diaman. Aku baru dapat bukti itu dengan nyata. Kulihat, Jerry, tengah memberikan sebuah cincin pada seorang cewek dan mencium tangannya. Gimana aku nggak, arggghhhh. Kenapa aku begitu bodoh. Secepatnya, kusamperin dia. Aku akan bikin malu dia. ” Wah,wah. Bagus ya. Ada seorang cowok yang amat ganteng, mempunyai 2 orang pacar. Dan salah satunya, nggak tahu kalo selama ini diboongin sama pacarnya sendiri, kalo ternyata dia punya selingkuhan.” kulihat ekspresinya. Lucu banget deh. Ketakutan gitu. Seperti maling yang ketahuan, dan akan segera ditangkap, dan dibawa ke kantor polisi. ” Ah, Tia. Ka..kamu kok..” ” Oh, kamu panggil apa? Tia? Nggak salah. Biasanya, pacarku selalu panggil aku sayang. Kenapa berubah jadi panggil namaku. Oh, ya. Aku tahu. Ini tandanya, kita harus putus. Dasar cowok buaya.” segera kutinggalkan tempat itu, karena aku muak melihatnya. ” Tung..tunggu Tia, sayang!!!” aku tak peduli dengan teriakannya. Kemudian, terdengar suara-sura ricuh, sepertinya orang-orang sedang menghinanya. Hahaha. Aku senang sekali, dia bisa kupermalukan seperti itu. Tau rasa dia. Setelah kejadian itu, aku berbaikan dengan Sinta. Aku benar-benar tertipu oleh wajah manis si Jerry. Dan aku nggak mau lagi terobsesi sama namaku. Seakan, sekarang, aku lebih bebas. Tak terikat lagi dengan namaku yang setia. Aku bisa merasakan hal-hal yang tak pernah kurasakan. ”Tia. Kamu kelewatan. Aku memang sering, mengkritik kamu agar kamu nggak terobsesi dengan namamu itu. Tapi bukan berarti kamu hidup sebebas ini. Kamu gak perlu cobain yang namanya diskotik, kamu kan tahu, ibu kamu pasti nggak suka. Kamu juga sering bolos kuliah, kamu gak pernah datang ke acara kampus, apalagi janjian sama aku. Nggak pernah lagi ontime. Kamu buat aku nunggu..” celoteh panjang lebar Sinta kumat lagi deh. ” Udahlah, Sin. Kamu sendiri kan yang bilang buat aku nggak terobsesi dengan setia dari namaku itu.” ” Iya, tapi bukan berarti, kamu mengingkari semua kesetiaan yang ada padamu.” ” Udahlah. Nggak usah bikin aku bete. Udah yah. Dah. Aku mau nge-date dulu. Bye.” kataku sambil meninggalkannnya. Sekarang, keadaanku memang terbalik. Tak lagi aku percaya dengan kata setia. Aku malah, membencinya. Sekarang, yang aku pikirkan hanyalah bersenang-senang. Aku sering bolos. Cuma untuk shopping, nge-date, and ke diskotik. Menyenangkan rasanya. Lagi-lagi, perasaan senangku terganggu. Aku melihat Jerry, di jalan. Saat aku sedang berjalan menuju kafe bersama pasangan baruku. Bikin bete nih. ” Tia. Aku mau ngomong sama kamu. Aku udah denger dari Sinta, sahabat kamu. Dia ceritain semuanya sama aku. Pliss. Ehm, mas, maaf, aku boleh pinjam Tia nya sebentar.” ” Oh, okey. Silahkan.” ” What? Emangnya kau barang. Say, apaan sih kamu, kok ngijinin dia bawa aku? Kalo aku diapa-apain gimana?” aku ngeless, biar pacar baruku nggak jadi ngijinin si Jerry bawa aku. ”Tenang aja, aku gak bakalan ngapa-ngapain kamu kok” ”Iya, gak pa-pa say. Aku percaya kok. Dia keliatannya orang baik.” hah. Males banget deh, ketemu orang yang paling nggak pengen aku temui. ” Apaan?” kataku sinis. ” Biasa aja kali. Aku Cuma mau nunjukin seseorang sama kamu.” ” Siapa? Apa hubungannya sama aku?” tanyaku bingung. ” Ikut dulu ajah.” ada apa sih. Dasar cowok ini, misterius amat. Beberapa menit kemudian, keluar seorang cewek yang dulu pernah kupergoki dia selingkuh, dan Sinta dibelakangnya. ”Ngapain kamu bawa-bawa dia? Oh, mau pamer, kalo dia sekarang pacarmu. Itu, Sinta, ngapain kamu disini juga?” nggak penting amat sih, nih orang. ” Biar aku jelasin. Kenalin, dia Verly.” si cewek itu pun, menyodorkan tangannya padaku. Kenapa, aku merasa dejavu. Tiba-tiba aja. Deg. Perasaan itu, sama seperti.. yah aku tahu, sama seperti pertama bertemu Jerry. ”Hi, aku Verly.” aku diam aja. Tak mau aku berjabat tangan dengannya. ” Maaf. Selama ini, aku membuatmu salah paham. Hingga, membuat hubungannmu dengan Jerry rusak, gara-gara aku. Dan, hidupmu menjadi seperti ini.” ”udahlah. Gak usah basa-basi. Kalian ini sebenarnya mau apa sih? Cuma mau minta maaf? Hh, emangnya segampang itu apa, aku memaafkan kalian. Lagian, aku nggak perlu maaf dari kalian.” jawabku sinis. Aku tak peduli. ”Seenggaknya, dengarkan dulu apa yang mau dibicarakan oleh Verly dan Jerry.” sambung Sinta membuatku tambah bete. ”Apaan sih, kamu. Ikut-ikutan aja.” ”Tia, kamu..” ”Sudah, sudah. Jangan bertengkar lagi. Kak, lanjutin.” Hah? Nggak salah denger. Jerry, manggil si cewek ini ”kak”? Apa karena dia lebih tua? ”Gini,ya. Aku dan Jerry, sebenarnya adalah saudara. Jerry itu, adik kandungku. Waktu itu, kamu liat, Jerry memberiku cincin dan mencium tanganku. Sebenarnya, dia hanya sedang latihan saja.” hah? Apa maksudnya semua ini? ”latihan?” ”Iya. Latihan untuk melamar kamu. Dia mau kamu menjadi tunangannya. Dia mau melamarmu. Jerry, inginnya, latihan yang lebih nyata, jadi sekalian di kafe. Maaf ya, selama seminggu ini, kami selalu berusaha menemuimu, tapi kamu selalu tak ada. Jadi baru sekarang tersampaikan.” Tuk. Aku tetrjatuh. Aku shock. Apa yang selama ini aku lakukan? Aku.. aku telah menyia-nyiakan hidupku. Keluargaku, kampusku, sahabatku, dan cintaku. Apa yang telah aku lakukan sih? Ya Tuhan. Ampuni aku. Aku telah dibutakan oleh hawa nafsuku. Aku, tak tahu harus bagaimana. Aku telah banyak dosa. Aku banyak bersalah pada orang-orang disekitarku, yang sangat aku cintai. ”Aku... maafkan aku. Aku benar-benar salah. Aku..” aku terisak. Aku menangis sedalam-dalamnya. Tapi aku tetap dihibur oleh orang-orang yang aku cintai, aku sayangi, walau mereka telah aku sakiti. ”Sudahlah, tak ada yang perlu dimaafkan. Sekarang, kita pulang saja yuk” kata Jerry menenangkanku. Iya. Sekarang, mataku jauh lebih terbuka. Aku lebih mempercayai orang-orang yang aku cintai. Aku lebih mendengarkan apa yang mereka katakan. Kesetianku.. akan tetap ada. Tapi tidak lagi menjadi obsesi, melainkan alami. Kesetianku.. SELESAI