Minggu, 17 April 2011

Romansa Rumah Singgah

Rasanya begitu lelah setelah hampir seharian aku berpindah-pindah kendaraan umum demi menjual suara yang sebenarnya sangat tidak merdu, tapi demi rupiah akupun terpaksa memaksa penumpang kendaraan umum itu untuk mendengarkan nyanyianku. Tidak perduli mereka suka atau tidak
Langkah kakiku pasti menuju rumah Damai Kami. Sebuah rumah singgah yang hampir dua tahun ini menjadi tujuanku untuk pulang dan beristirahat. Rumah yang tidak terlalu besar itu dulunya milik juragan sampah yang dihibahkan kepada kami –anak-anak jalanan– yang kebanyakan adalah para pengamen dan pemulung. Selain aku masih ada 13 orang lagi yang menjadikan rumah singgah ini sebagai surga.
Ketika sampai aku melihat Lila sedang duduk diayunan yang menggantung didahan pohon rambutan yang tumbuh besar disamping rumah. Matanya lurus menatap jalan. Dia tersenyum sebentar ketika melihat aku datang. Sepertinya Lila sedang menunggu seseorang dan itu bukan aku.
“Nunggu siapa?”
“Ali.“
Ough. Aku tidak heran. Bukan rahasia lagi kalau Lila menyukai Ali, pengamen paling tampan yang ada dirumah singgah ini.
“Sepanjang jalan tadi gue ngga liat Ali.”
Lila menarik nafas dengan berat. Seperti telah lelah menunggu.
“Ali kemana ya Ren, udah hampir sebulan ngga datang. Dia juga udah ngga pernah keliatan ngamen.”
Aku hanya bisa mengangkat bahu.
“Kalau gue tau Ali ada dimana pasti udah gue ajak pulang kesini. Paling ngga buat nemuin elo.”
Bibir tipis itu mengembang sedikit. Nampaknya Lila menyukai ucapanku. Aku senang jika melihat Lila tersenyum karena saat itu akan muncul pendar-pendar bintang didalam matanya. Sumpah mati, aku ingin sekali tenggelam disana.
Tapi sejak Ali pergi tanpa kabar senyum Lila pun ikut menghilang. Entah lelucon apalagi yang bisa aku lontarkan untuk membuatnya tersenyum.
“ Makasih Ren. Elo emang teman yang paling ngertiin gue.”
Terasa getir. Kata teman yang diucapkan Lila benar-benar membuat hati ku mengkerut. Kalau boleh jujur sebanarnya aku membenci kata itu. Tapi untuk saat ini menjadi teman memang status terbaik yang bisa aku jalin dengan Lila.
Aku mengenal Lila setahun yang lalu. Kami bertemu di halte bis, sama-sama sedang menunggu kesempatan untuk bisa menjual suara. Kesan pertama ketika aku melihat Lila saat itu hanyalah rasa kagum akan keberaniannya untuk mengamen seorang diri. Pengamen wanita yang sering aku lihat selalu didampingi rekannya, pria ataupun wanita. Saat itu belum ada cinta pada pandangan pertama. Hanya baru ucapan hati, wow cewek ini luar biasa banget!
Sedikit bicara kami sudah menemukan kesamaan cara pandang tentang berbagai macam sisi kehidupan. Karena kecocokan itulah maka hari itu kami memutuskan untuk mengamen bersama. Hasilnya pun kami bagi rata. Dan hari itu berulang pada hari-hari selanjutnya. Sampai pada akhirnya aku mengenalkan rumah singgah kepada Lila yang secara tidak langsung aku telah mengenalkannya pada Ali.
“ Bang Ali datang! Bang Ali datang!”
Suara teriakan Unang nyaring sekali. Bocah delapan tahun yang harus rela meningalkan bangku sekolah demi tumpukan-tumpukan sampah yang kelak menjadi rupiah itu berlari kesana-kemari memberitakan kedatangan Ali kepada rekan-rekannya. Bersama-sama mereka memburu Ali –atau mungkin buah tangan yang dibawa Ali– karena sejak dulu Ali memang terkenal sangat dermawan. Dia tidak pernah sungkan membagikan rejeki yang dia dapat kepada sesama penghuni rumah singgah. Dan aku merasa sifat baik hatinya itulah yang telah membuat Lila jatuh hati kepadanya.
“Baru keliatan, kemana aja lu?” tanyaku ketika Ali selesai membagikan makanan kepada anak-anak.
“Gue dapet kerja.Hasilnya lumayan dibandingin ngamen.”
“Kerja dimana?”
Ali terlihat bingung dengan pertanyaanku. Dengan gugup dia menjawab.
“Supir pribadi.”
“Oh syukur deh. Gue ikut seneng ngedengernya. Akhirnya ada juga salah satu dari kita yang keluar dari lingkaran setan.”
Ligkaran setan yang melilit kami –orang-orang yang terpinggirkan– memang sangat sulit diputus. Hanya mereka-mereka yang memiliki semangat baja dan kemauan keras saja yang bisa bertahan atau bahkan keluar dari jeratnya. Lingkaran setan bernama kemiskinan.
“ Oya, Lila nyariin lu tuh. Kayaknya dia kangen banget sama lu.” Berat sekali rasanya aku mengatakan itu.
“ Lilanya mana?” tanya Ali sambil matanya mencari-cari.
Tapi Lila tidak ada. Teman yang lain bilang Lila sudah pulang kerumah orang tuanya sejak sore tadi.
“ Biar nanti gue susul kerumahnya aja.” Kata Ali meyakinkan.
Ucapan Ali itu sekaligus memastikan bahwa pertemuan antara mereka pasti akan terjadi. Aku pun patah hati!
Lila datang kerumah singgah dengan riang. Aku yang tidak sadar dengan kehadirannya cuek saja tidur-tiduran dilantai dengan bertelanjang dada. Sampai saat dia mengejutkanku dengan suara panggilannya.
“Reno, bangun! Gila udah jam sepuluh elo masih aja tidur. Emang ngga nyari duit?” panjang sekali kalimatnya.
“Lagi males.” Jawabku sambil memakai kaos butut yang tadi ku pakai sebagai alas kepala pengganti bantal.
“Udah kaya, lu?”
“Ngamen tiap hari juga gue ngga kaya-kaya.”
Lila malah tertawa mendengar ucapanku yang lebih mirip keluhan itu sementara tangannya sibuk memainkan handphone.
“Handphone baru”? tanyaku penasaran. Karena yang ku tahu selama ini Lila tidak punya handphone.
“Iya. Dari Ali.” Jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
“Ali?” tanyaku semakin heran.
Lila mengangguk. “Katanya biar gue gampang ngehubungin dia kalau ada apa-apa. Begitu juga sebaliknya.”
Aku tertinggal satu langkah lagi. Selama ini aku tidak pernah memberikan apapun kepada Lila kecuali gorengan buat sarapan pagi atau semangkuk bakso di jam makan siang. Sementara Ali, dia memberikan gadis itu sebuah handphone.
“Lu tau ga, Ren?”
“Apa?”
“Gue seneng banget dikasih hape sama Ali tapi gue lebih seneng lagi waktu dia bilang kalau dia sayang sama gue.”
Serasa tersengat listrik, aku kaku dalam keterkejutan.
“Dia nembak elo?” tanyaku gugup seakan takut pada kebenaran.
“Dia cuma bilang sayang sama gue. Dia juga bilang kalau dia ngga mau kehilangan gue. Apa itu berarti dia nembak gue?”
Aku tidak bisa menjawab karena aku benci harus mengatakan `iya` atas petanyaannya itu. Sepolos itukah Lila sampai tidak bisa menangkap maksud dari ucapan Ali.
“Gimana perasaan elo waktu denger Ali ngomong kayak gitu?”
“Gila, kayak mimpi! Gue seneng banget karena ternyata perasaan dia ke gue sama kaya perasaan gue ke dia.”
Jelas sekali kalau Lila sedang bahagia. Karena saat bercerita bola matanya penuh dengan bintang yang bertaburan. Tapi untuk saat ini aku tidak menyukai pendar-pendar itu karena rasanya menusuk sampai kehati.
“Oya, Ren, kemarin kita fhoto-fhoto berdua. Lu mau liat ga?” Lila merapatkan duduknya denganku sambil memperlihatkan fhoto-fhoto yang ada dalam ponselnya.
Baru beberapa fhoto yang aku lihat tapi aku sudah terlalu terbakar cemburu. Sebenarnya aku ingin marah tapi aku sadar kalau aku tidak mempunyai hak itu. Karena Lila memang bukan siapa-siapa ku, kecuali teman.
Yang terbaik yang bisa aku lakukan adalah beranjak dari dudukku dan bersiap untuk pergi.
“Mau kemana?” tanya Lila
“Ngamen.”
“Lho, tadi katanya males.”
“Gue pengen punya hape kaya lu, jadi gue harus rajin ngamen.” Kataku beralasan
“Alah gaya lu.” Lila mencibir kepadaku.
“ Ya udah, gue ikut!” kata Lila kemudian sambil merangkul bahuku. Tapi hanya rangkulan seorang teman saja.
Lelah bernyanyi dari bis ke bis, aku pun mengajak Lila beristirahat. Membayangkan kesegaran es teh yang banyak dijual dipinggir jalan membuat kerongkongan ku yang sudah kering naik turun. Tapi Lila malah menarik ku untuk menemaninya masuk kesebuah mall. Katanya dia ingin membeli chasing hape yang baru.
“Kenapa ngga beli yang dipinggir jalan aja. Lebih murah. Barangnya juga ngga kalah bagus.” Kataku sesampainya di mall.
“Sekali-kali boleh dong beli barang ditempat mewah. Masa dipinggir jalan mulu.”
“Huh, cewek tetep aja cewek. Doyan belanja.” Aku menggerutu.
Lila terlihat puas bisa menguasaiku. Dengan langkah riang dia masuk kedalam mall. Tapi kemudian......
“Eh, tunggu Ren.”
“Ada apa?” tanyaku heran ketika melihat Lila berhenti ditengah jalan.
“Itu kayak Ali deh.” Kata Lila sambil menunjuk seorang laki-laki muda yang sedang berdiri diluar dengan belanjaan yang memenuhi kedua tangannya.
Selintas mata aku memang tidak mengenali laki-laki itu sebagai Ali karena penampilannya yang sangat rapih. Aku suda terbiasa melihat Ali yang kucel dan berantakan dengan jeans bututnya.
“Iya. Itu Ali.”
Tanpa meminta persetujuanku Lila lansung saja berlari kecil kearah Ali. Dia terlihat gembira sekali bisa bertemu dengan Ali ditempat ini.
“Ali!” sapa Lila.
Ali terlihat terkejut melihat kedatangan kami.
“Hey, kalian koq ada disini?” tanyanya dengan gugup.
“Lila minta anter beli chasing buat hape barunya.” Aku yang menjawab.
“Habis ngeborong?” tanyaku kemudian.
“Punya Boss.”
Ah, iya aku ingat. Ali sekarang seorang supir pribadi. Tapi kenapa mendadak dahi Ali berkeringat?
Belum lama kami bicara seorang wanita setengah baya –usia sekitar 40an– keluar dari mall lalu menghampiri kami. Penampilannya begitu eksekutif. Dia pasti si Boss itu.
“Lama nunggu ya, Beb?”
Beb? Apa yang dimaksud perempuan itu beby? Aku memang tidak pintar dan hanyalah seorang pengamen tapi aku tidak begitu bodoh sampai tidak mengerti arti kata itu. Sayang, ya itu artinya. Rasanya mustahil seorang majikan memanggil sayang kepada supirnya.
Keherananku bertambah ketika aku melihat perempuan itu menggandeng tangan Ali dengan mesra dan Ali tidak berusaha untuk menolaknya.
“Siapa mereka?” tanya perempuan itu. Ali terlihat gelisah mencari jawaban.
“Teman.”
“Teman? Kamu berteman dengan.....” perempuan itu melihat kami dengan jijik. Mengkin karena penampilan kami tidak semewah mereka.
“O, bukan begitu. Maksudku mereka sedang mencari teman mereka yang hilang. Mereka sedang bertanya apa aku melihatnya.”
“Kenapa ngga minta tolong sama bagian informasi aja.”
“Mungkin mereka bingung. Namanya juga orang kampung.”
Bisa dibayangkan bagaimana terbakarnya emosiku mendengar dialog diantara mereka berdua. Tanganku yang sudah menbentuk kepalan hampir saja melayang kewajah Ali seandainya saja aku tidak ingat ada seorang perempuan lain disamping ku yang sedang bersusah payah menahan airmatanya agar tidak meluap. Lila pasti terluka.
“Ya sudah, kita pulang yuk! Nanti keburu sore.” Perempuan itu menarik Ali untuk segera pergi.
Dan seperti kerbau yang dicucuk hidungnya Ali menuruti perintah perempuan itu. Tanpa merasa berdosa dia meninggalkan kami berdua, tidak perduli dengan Lila yang sudah berair mata.
Jika sudah begini aku pun bingung dengan cara apa harus menghibur Lila. Bernyanyi didepannya? Ah, bahkan suaranya lebih merdu dari suaraku.
Sore itu aku melihat Lila duduk diayunan tapi tatapannya tidak lagi mengarah ke jalan seperti saat ia menunggu Ali. Tatapannya kini lurus melihat langit yang mulai berwarna merah tanda matahari akan tenggelam. Seminggu sudah Lila tidak datang kerumah singgah. Yang aku tahu, Ali memutuskan untuk tetap bersama perempuan tua itu dan meminta Lila melupakannya. Antara cinta dan harta ternyata Ali lebih memilih harta. Mungkin karena ia begitu ingin keluar dari lingkaran setan bernama kemiskinn yang menjeratnya.
“Meskipun bukan dipantai tapi melihat matahari tenggelam disini pun tetap menyenangkan ya?” aku mulai berbasa-basi padahal Lila belum menyadari kehadiranku.
Lila tidak merespon. Ia hanya menoleh sebentar kearahku dengan senyum yang hampir dipaksakan.
“Elu harus bisa kaya matahari itu. Hari ini tenggelam tapi besok dia akan muncul lagi dengan membawa kecerahan pada dunia.”
“Ngga semudah itu Ren. Keputusan Ali untuk tetap bersama perempun tua itu benar-benar bikin gue ngedrop lahir bathin.”
“Iya, gue ngerti. Tapi bukan berari elu harus murung setiap hari.” kataku
Lalu senyap.
“Orang bilang kita bisa mengobati luka hati dengan mencoba untuk jatuh cinta lagi. Itu artinya elu harus ngebuka hati elu biar bisa dimasukin sama cinta yang baru.”
Lila menghela napas. “Apa mungkin masih ada orang yang suka sama gue? Pengamen miskin yang tinggal diperkampungan kumuh. Yang setiap saat harus rela digusur pemerintah.” Kepesimisan benar-benar sudah menguasai Lila.
Yeah, sepertinya ini waktu yang tepat. Sudah saatnya membuka rahasia hati.
“Gue bisa koq nerima elu apa adanya.”
Lila menatapku. Bingung. Heran. Penasaran. Itu yang aku tangkap dari wajahnya.
“Udah lama gue suka sama elu. Tapi karena gue tau elu suka sama Ali jadi gue mundur teratur.”
Lila nampak terkejut mendengar pengakuanku tapi ia segera mampu mengendalikannya dirinya.
“Makasih udah jujur, Ren. Tapi saat ini gue masih pengen sendiri. Gue ngga mau maksain hati gue buat suka sama elu cuma buat nutupin luka hati gue doang. Gue pengen setiap perasaan cinta gue muncul dengan sendirinya. Tanpa dibuat-buat.”
Aku tidak mampu berkata-kata lagi karena sibuk menata hati.
“Gue masih menikmati persahabatan kita, Ren.” Lila menyambung kalimatnya.
Penolakan yang indah. Akupun menghargai keputusan Lila karena aku pun tahu cinta itu memang tidak bisa dipaksa.
Satu tahun aku mampu bersabar menjadi teman Lila. Sekarang dan seterusnya pun aku yakin masih mampu bersabar dengan terus berharap persahabatan ini akan berubah menjadi cinta.
Selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar