Rabu, 08 Desember 2010

Rela

Semilir angin malam kembali menyapu wajah Lainia dengan lembut. Menyibak kenangan masa lalu yang sudah lama tersimpan rapi. Memaksa hati untuk mengingatnya. Malam ini, tepat pukul 20.00, Lainia berada di sebuah pantai. Pantai yang menjadi saksi tentang peristiwa masa remajanya. Pantai Teluk Manado. Pantai yang selama 10 tahun tidak pernah dikunjunginya. Pantai yang selama ini berusaha dia lupakan sejak Lainia menginjakan kaki di kota New York. Malam ini. tepat pukul 20.00, Lainia duduk beralaskan pasir putih yang halus tanpa ditemani sebuah bintang. Lainia mengeluarkan barang kesayangannya, menggenggamnya dengan yakin, dan membunyikannya kembali setelah 10 tahun terakhir dilupakannya. Lainia telah berani untuk mengingat kembali masa-masa itu.***Tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu juga Lainia. Ketika semua orang mampu mengungkapkan perasaan mereka dengan tawa riang, Lainia Rosari hanya dapat tersenyum simpul. Saat para remaja saling berbagi dan bertukar cerita satu sama lain, Lainia Rosari hanya mampu bercerita dengan gerakan tangan atau bahasa tubuhnya. Lainia sudah sangat mengerti dengan keadaannya. Diusianya yang beranjak 17 tahun, Lainia sudah mampu berfikir lebih dewasa. Lainia tidak pernah menunjukan kecemburuannya ketika mendengar tawa dan cerita riang remaja seusianya karena Lainia masih dapat mengungkapkan seluruh perasaannya melalui benda kesayangannya. Angklung.Lainia bukan remaja yang tergila-gila akan musik karena Lainia tahu bahwa dia tidak memiliki bakat dalam hal bermusik. Namun keadaan menjadi berbeda ketika Ayah Lainia pulang bertugas dan membawa satu set angklung berukuran kecil untuk putri kecilnya yang waktu itu berusia 6 tahun. Saat itu juga Lainia menyukai angklung, Lainia menyukai suaranya, terdengar sangat alami. Bahkan ketika ayahnya harus dipanggil Tuhan, Lainia membawa angklung kesayangannya dan duduk di samping batu nisan ayahnya. Lainia menggoyangkan kedelapan angklungnya secara bergantian. Angklung itu menggeluarkan nada-nada indah, layaknya lagu pengiring untuk menghantar kepergian ayahnya. Angklung mampu menunjukan kecintaannya pada pantai. Pantai Teluk Manado. Tempatnya berbagi kesepian. Setiap hari, tepat pukul 20.00, Lainia selalu duduk beralaskan pasir putih ditemani oleh suara debur ombak. Tiap malam itu pula Lainia selalu membawa angklungnya, memainkan dengan lembut, seakan sedang bercerita pada kesunyian malam. Lainia percaya, angklungnya akan membawanya pada kisah hidup yang begitu berarti. *** Suara angklung Lainia beradu dengan kerasnya ombak malam. Menyatu menjadi nyanyian malam yang menenangkan hati Lainia.Tiba-tiba Lainia berhenti menggoyangkan angklungnya, dia mendengar suara lain yang tidak asing. Suara angklung. Tapi bukan suara angklung miliknya karena nada angklung itu lebih tinggi satu oktaf dari miliknya. Pandangan Lainia menyapu seluruh sisi dari pantai, mencoba mencari sumber suara angklung itu. Namun dia tidak menemukannya. Lainia berjalan menyusuri pantai, suara angklung itu masih tetap terdengar.Ternyata benar, Lainia melihat seorang lelaki muda, duduk di tepi pantai sambil menggoyangkan sebuah angklungnya. Celana lelaki itu sudah basah oleh ombak kecil yang sesekali menghampirinya. Lainia menghampiri lelaki itu dengan perlahan.Lainia menyentuh pundak lelaki itu, dia menoleh dengan wajah kaget. Lainia membalas senyuman itu sambil mengangkat satu set angklungnya yang berukuran kecil, berusaha memberi tanda bahwa dia juga membawa benda yang sama dengan lelaki itu. Lelaki itu tersenyum, mengerti maksud Lainia. Dia mengulurkan tangan lalu menulis namanya pada pasir yang tidak terkena air. Reynold.Lainia merasa aneh karena lelaki itu tidak menyebutkan langsung namanya. Tapi Lainia tidak terlalu memikirkannya lalu dia juga menuliskan namanya di pasir.Rey kembali tersenyum. Rey menggerakan bibirnya, seperti orang berbicara, namun kalimatnya tidak jelas. Rey juga berusaha berbicara melalui bahasa tubuhnya. Akhirnya Lainia sadar bahwa Rey bisu, sama seperti dirinya.Mengetahui hal itu Lainia merasa sangat senang karena dia menemukan seseorang yang memiliki keterbatasan dengan dirinya.Malam itu, Rey dan Lainia terlibat pembicaraan yang cukup jauh, menggunakan bahasa yang tidak banyak dimengerti orang lain. Membicarakan kecintaan pada angklung dan kekaguman mereka terhadap pantai.Malam itu, pukul 20.00, Pantai Teluk Manado menjadi saksi awal perkenalan mereka.***Rey dan Lainia kian hari kian akrab karena satu sama lain saling merasa nyaman. Lainia senang karena berhasil menemukan teman yang memiliki banyak kesamaan dengan dirinya. Begitu juga Rey, untuk pertama kali dalam hidupnya, dia mempunyai sahabat yang juga bisu.Tiap malam, Rey dan Lainia bertemu di pantai untuk sekedar bertukar cerita atau hanya menikmati indahnya malam. Satu hal yang tidak pernah terlupa, mereka selalu membawa angklungnya. Rey hanya mempunyai satu angklung. Angklung itu pemberian kakeknya sebelum wafat. Selama hampir 17 tahun, Rey tinggal bersama kakeknya karena orang tuanya tidak menerima kehadiran Rey yang bisu. Oleh karena itu Rey sangat mencintai angklungnya. Angklung bernada re, mirip dengan inisial namanya. Rey juga memiliki hobi yang sama dengan Lainia, mengunjungi pantai dan menghabiskan waktu di sana. Melepas kerinduan pada kakeknya yang dulu sering mengajak Rey untuk melaut. Rey tidak akan pernah bisa terlepas dengan pantai dan angklung.***Cinta tidak pernah egois. Cinta datang pada setiap insan,tanpa membedakan kaya atau miskin, tua atau muda bahkan cinta juga datang pada orang yang memiliki keterbatasan fisik.Cinta datang pada hati Rey dan Lainia, dua orang remaja yang memiliki keterbatasan, hobi dan kecintaan yang sama. Mereka sudah menyadari perasaan itu, meski tiada kata cinta yang terucap karena hati mereka yang bicara.Malam ini, pukul 20.00, Rey sudah mempersiapan kejutan kecil untuk Lainia. Rey menyewa perahu kecil, dia akan mengajak Lainia menikmati indahnya malam di tengah laut.Lainia tampil sangat berbeda. Dia menggunakan dress berwarna putih yang menjuntai lembut hingga lututnya. Lainia merasa malam itu adalah malam yang sangat spesial. Setelah semua siap, Lainia dan Rey mendayung perahunya cukup jauh dari bibir pantai. Malam itu hanya terdapat beberapa titik bintang, namun Rey dan Lainia tidak kecewa karena mereka masih ditemani bulan sabit.Ditengah sepinya malam hanya suara angklung Rey dan Lainia yang terdengar. Lainia hanya membawa sebuah angklung bernada la. Salah satu nada yang disukainya sejak bertemu dengan Rey. Angklung bernada re dan la semakin kencang terdengar, beradu dengan hembusan angin malam.Malam semakin larut, Rey mulai menyesali keputusannya untung mengajak Lainia ke tengah laut saat malam hari karena angin sangat kencang dan ombak pun tidak bersahabat. Berkali-kali perahu mereka sedikit oleng karena besarnya ombak. Akhirnya Rey memutuskan untuk kembali ke bibir pantai namun Lainia menolak. Lainia belum merasa puas dengan suasana tersebut.Sayangnya keputusan Lainia salah, ombak semakin besar. Perahu mereka yang hanya berukuran kecil tidak dapat menahan goncangan air yang besar. Rey dengan segera mengayuh perahunya. Sayang ombak terlalu besar. Perahu itu oleng dan akhirnya terbalik.Lainia sangat panik karena dia tidak bisa berenang. Dinginya air juga membuat tubuhnya terasa membeku. Rey melihat keadaan Lainia yang panik, dia berusaha mendekatkan dirinya dengan Lainia yang semakin ketakutan sambil mendekap angklungnya. Tubuh itu menggigil, tiba-tiba kakinya keram. Dia kesakitan dan tidak tahu harus berbuat apa. Dalam keadaan seperti itu, dia hanya mampu berdoa dalam hatinya, Tuhan selamatkan nyawanya, kirim malaikatMu untuk menolongnya. Jika memang kami tidak bisa bersama lagi di sini, biarkanlah aku yang menunggunya di sana. Aku rela meninggalkannya, asal dia selamat.Malam itu, bulan sabit merekam bukti kekuatan cinta dua anak manusia itu. Angklung bernada re dan la pun turut menjadi saksi bisu kejadian itu. Kejadian yang merubah segalanya.**Lainia membunyikan angklungnya dengan gemetar. Angklung bernada re dan la. Angklung yang selama ini membuatnya merasa sangat bersalah. Angklung yang selama 10 tahun ini melambangkan kedukaan baginya. Angklung yang berusaha dilupakannya, namun gagal. Angklung bernada re dan la terlalu banyak menyimpan kenangan. Angklung itu telah menjadi saksi bisu kepergian Rey. Kepergian yang tidak pernah membuat Rey kembali lagi. Akhirnya Lainia menyerah pada waktu, bahwa segala kenangan itu masih tersimpan di lubuk hatinya. Tanpa sadar, air mata telah menetes perlahan di pipi Lainia. Air mata yang melambangkan kerinduan. Kerinduan pada masa lalunya. Kerinduan pada tokohnya.Tiba-tiba tangan lembut mengusap air mata Lainia.Ternyata Rey. Rey tersenyum sambil membelai rambut Lainia.“Aku tahu apa yang kamu rasakan. Tapi biarlah masa lalu itu tersimpan di hatimu. Kini kita akan memulai lembaran baru. Dia juga akan bahagia di sana jika melihat kamu bahagia,” ucap Rey tulus.Lainia mengangguk sambil tersenyum.“Sekarang kamu harus istirahat. Besok pemotretan dimulai pukul 08.00, kamu harus terlihat segar, supaya foto kita bagus hasilnya.”Rey menggandeng tangan Lainia dan mengajaknya kembali ke hotel. Sebelum pergi Lainia mengajak Rey ke pinggir pantai. Lainia mengeluarkan sebuah undangan, Lainia menghela nafas panjang dan akhirnya meletakan undangan itu pada gelombang air pasang. Sebuah undangan pernikahan. “LAINIA ROSARI DAN REYHAND XAVERIUS.”Undangan itu telah menjadi tanda bahwa Lainia sudah ikhlas melepas semua kenangan pahitnya dan mencoba membuka lembaran baru.Malam itu, pasir putih kembali menjadi saksi kehidupan Lainia, saksi kehadiran Rey yang baru. Reyhand. Rey masa lalunya sudah berada di tempat terindah, menunggu Lainia hingga saatnya tiba. Tapi Reynold akan tetap menjadi bagian dalam hati Lainia. Bagian yang tidak bisa dipisahkan.Angklung bernada re dan la akan tetap selalu terdengar meskipun kini pemilik angklung bernada re adalah orang yang berbeda. Angklung bernada re dan la akan tetap mempersembahkan nyanyian malam yang menenangkan hati Lainia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar