Sosok mungil Tila dengan mudah ketemukan di ruang tunggu terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Ia memang sudah berjanji akan menjemputku di bandara, karena memang dialah yang memanggilku pulang ke Indonesia.
"Selamat datang Di Indonesia, Na." Kata Tila sambil kami bercipika - cipiki.
"Haha...tenang saja, bos. Buatan Indo asli, kok. Ga usah kayak aku orang bule beneran kali."
Dengan mobil yang disetir sendiri, Tila membawaku ke rumahnya di Bogor. Sbeelumnya kami makan malam di sebuah mal mengingat hari sudah sore dan kami sangat yakin akan terjebak macet dalam perjalanan ke Bogor. Jakarta rupanya belum berubah, masih tetap sarang macet, dan itu takkan pernah berubah kecuali secara tiba - tiba ada wabah misterius yang menghabisi setengah penduduk Jakarta.
Baru ketika sampai di rumah aku menyadari ada yang aneh. Tila tidak banyak bicara padaku. Tidak juga mengenai alasan mengapa ia memanggilku ke Indonesia. Ia banyak diam dan ketika kami sampai, satu - satunya yang ia katakan adalah aku harus siap untuk bangun pagi dan ia akan membawaku ke Bandung. Setelah berkaa begitu dan aku secara tidak sengaja melirik kalendar, aku teringat sesuatu. Aku teringat rumah itu. Rumah yang sangat besar. Gothic. Ketika kami 15 tahun lebih muda dari sekarang. Dan ketika Tila masih hidup bahagia dengan suaminya.
Sebelum jam menunjukan pukul tujuh, kami sudah keluar dari Bogor memasuki tol Jagorawi menuju Cipularang. Tila tidak menyupir sendiri, tetapi seorang bapak tua yang dengan senang hati membawa kami ke Lembang. Masih sama seperti kemarin, Tila terus diam, hanya berbicara seperlunya pada supirnya ketika menanyakan uang tol dan bensin. Padaku pun hanya menanyakan pekerjaanku dan keadaan tempat tinggalku. Setelah itu, kami tetap banyak.
Tepat pukul 12.00, mobil berhenti di depan sebuah rumah yang sejak semalam aku pikirkan. Rumah peninggalan Zaman Belanda bergaya Gotik Viktoria dengan besar lima kali besar rumah Tila sekarang. Secara tidak resmi, rumah tersebut sudah ganti pemilik dan yang memilikinya adalah kecoa, tikus, laba - laba, lumut, dan semua tanaman serta binatang menjijikan yang akan kau temukan di rumah yang selama lima belas tahun tidak lagi di tempati. Reflek, aku memandang ke arah Tila dan merasa khawatir sesuatu akan terjadi pada Tila ketik a melihat rumah yang dulu ditinggalinya. Ternyata tidak. Ia tetap memasang wajah tenang. Dingin malah dan tanpa ekspresi sama sama sekali. Aku membiarkannya memimpin jalan dan membuka pintu. Ketika baru saja berjalan beberapa langkah masuk ke dalam rumah itu, bau dari segala bau yang paling tidak enak langsung menyerang hidungku dan juga rasa bercampur antara dingin dan lembab. Andai ini bukan pukul dua belas siang, aku pasti merasa buta total karena gelap. Ada perasaan parno yang menjalari tubuhku dan menaikan bulu kudukku.
"Kalau mau tunggu, tunggu aja. Enggak lama, kok."Ide bagus. Aku memilih menunggu. Tila sepertinya punya urusan sendiri dan aku sebaiknya tidak mengganggunya. Sambil menunggu, aku menarik sebuah kursi makan yang rasanya cukup kuat untuk menahan tubuh suburku. Udara dan aroma yang menebalkan ini pasti telah membuatku snagat pusing hingga tanpa sadar aku mengalami time slip.
Tiba - tiba saja di depan mataku, meja makan yang sudah reot dan ditutupi sarang laba - laba itu menjadi bersih kembali, ditutupi oleh taplak putih berenda dengan lilin, vas bunga, dan piring - piring serta gelas - gelas mahal di atasnya. Kursi - kursi makan berdiri tegak yang berwarna merah dan disulam dengan benang emas. Tidak hanya di ruang makan, pada awalnya, aku tidak bisa melihat ke ruangan lain, tetapi tiba - tiba ruangan itu menjadi terang, dan seluruh rumah banjir cahaya. Ada kehidupan yang kembali berdetak di rumah itu. Seorang wanita bertubuh mungil dengan gaun bergaya tahun 90an tersenyum amat bahagia. Di meja makan, telah menunggu seorang pria yang juga tersenyum bahagia. Ia cukup tampan sebenarnya, tetapi entah mengapa, ada sesuatu yang mengkhawatirkan padanya, bahkan ketika orang pertama kali melihatnya.
Itu...Tila? Dan...Kak Awfa!
Time slip berakhir ketika aku menggelengkan kepala terlalu kencang hingga nyaris rubuh dari kursi. Tapi ketika semua kembali menjadi normal itulah, memoriku malah terbuka semua. Ya, pada waktu itu! Pada hari yang sama. Pada tanggal yang sama. Lima belas tahun yang lalu.
Sama seperti yang juga terjadi sekarang, Tila memanggilku pulang ke Indonesia hingga membuatku yang baru saja mendapat pekerjaan di sebuah museum seni ternama di Paris memohon - mohon pada kurator museum untuk memberiku cuti dua minggu. Ketika di bandara, aku mengira bahwa Tila akan menjemputku. Alih - alih menemukan sosok mungilnya, yang menjemputku adalah seorang bapak tua dengan logat Sunda yang kental.
"Neng Arina, ya?"
"Iya mang. Mamang jemput saya?" aku menegnali bapak ini sebagai supir Tila.
"Neng, ibu enggak bisa jemput hari ini. Jadi mamang yang kemari jemput eneng."
Jadi dia tidak bisa menjemputku. Tidak masalah.
Aku sedikit terkejut ketika ternyata mobil ini tidakmembawaku ke arah Bandung seperti yang semula yang kubayangkan, tetapi aku malah dibawa ke daerah Pondok Indah.
"Kok ke sini, Mang? Ibu emang dimana?"
"Ibu di rumah sakit, Neng."
Rumah sakit? Kakak!
"Bapak...kumat lagi?"
"Kurang tahu, Neng. Cuma kemarin ibu panik banget da cepet - cepet bawa bapak ke Jakarta. Sekarang sih dirawat udah semingguan."
Sesampainya di rumah sakit, Tila sudah menungguku di lobi. Ia tampak pucat dan kelelahan, tetapi masih memaksakan senyum untuk membuatku merasa diterima. KAmi berjalan menuju ruangan tempat Kak Awfa dirawat.
Kak Awfa adalah cinta masa SMA Tila. Meski dulu kami berpikir tidak mungkin Tila bisa bersama Kak Awfa, karena ia anak yang sangat populer di antara murid perempuan, nyatanya mereka satu universitas, bahkan satu jurusan di Sastra Jepang. Dan, yah beginilah akhirnya. Sudah dua tahun mereka menikah. Tapi sudah menjadi rahasia umum, bagi siapapun yang naksir Kak Awfa, berarti harus menghadapi ketakutan. Kakak mengidap talasemia sejak kecil yang membuatnya pucat seperti vampir. Dan ketika kakak menikahi Tila, pada saat bahagia itulah justru penyakitnya sering menyerang dan melemahkannya. Jangankan yang naksir, aku yang tidak pernah naksir pun sedih dan tidak tega memandangnya.
"Kak, ada tamu yang mau nemenin kakak." Kata Tila sambil duduk di bangku sebelah ranjang Kak Awfa. "Kakak ingat Arina? Arina yang sekolah di Perancis , teman baik Tila? Arina yang suka datang ke rumah kita dan memecahkan guci kakak?"
Dalam keadaan biasa aku akan malu mendengar kata - kata itu. Sebenarnya lucu juga, mengingat Tila masih memanggil Kak Awfa dengan sebutan kakak setelah mereka menikah. Tapi tidak ada waktu untuk tertawa bagiku sekarang.
"Rina mau kan temenin aku di sini?"
Aku tidak bisa melakukan hal lan kecuali mengangguk. Karena itulah aku dipanggil kemari. Tila butuh teman yang bisa terus mendampinginya. Dan yang dimaksud mendampingi berarti aku benar - benar terdiam mematung sementara Tila terus mengajak KAk Awfa bicara, entah ia sadar atau tidak bahwa apa yang ia lakukan sia - sia. Kakak sedang koma, dan matanya terus tepejam. Harapan terkahirnya adalah obat - obatan serta peralatan medis yang tergantung dimana - mana.
"Kak, kakak ingat waktu kita main drama? Waktu kita bikin drama Putri Kaguya? Waktu kakak nginjek kimono Tila?"
Tetap tidak ada reaksi. Aku bersyukur Tila tidak mengajaknya bicara karena aku tidak tahan sama sekali melihatnya.
"Kakak ingat waktu kita memananam bunga krisan? Ingat, kak? Waktu kita karaoke lagu - lagu Jepang? Waktu Tila ngambek sama kakak terus kakak bawa bunga krisan itu untuk Tila?"Terpaksa aku menggunakan majalah yang kupegang untuk menyembunyikan air mataku. Sesuatu dalam hatiku ingin berteriak dan menyuruh Tila untuk waspada dan mengikhlaskannya saja. Sesuatu dalam diriku ingin berkata pada Tila, bahwa usaha akan sia - sia.
"Pada suatu hari, ada seorang nenek dan kakek tua. Mereka sudah lama menikah dan sudah tua, tapi tidak dikaruniai anak..."Cerita itu cerita Putri Kaguya. Cerita yang membuat cinta mereka bersemi pertama kali. Cerita yang sangat panjang, hingga tanpa sadar aku terlelap. Suara ketukan membangunkanku segera. Ketika aku bangun, aku melihat Tila tertidur dengan kepala di atas kasur. Aku sangat kasihan padanya dan pemandangan seperti ini membuatku sangat terharu. Ketukan itu terdengar lagi dan aku sadar aku ahrus segera membuka pintu.
"Dokter?"
"Kami ingin memeriksa keadaan Bapak Awfa."
Aku mengizinkan mereka masuk, dokter dengan seorang susternya. Ketika mereka memeriksa alat pemeriksa denyut nadi, dokter memandangku dengan dengan pandangan seorang profesional, tapi tidak menyembunyikan bahwa ia juga bersedih.
"Maaf bu, kami sudah mencoba apa yang kami bisa."Suara dari alat itu yang begtu panjang, bukan lagi satu - satu berdetak menyadarkanku akan tugasberat yag harus kuemban. memberitahu Tila tentang ini. Air mata yang sudah ada di mataku kulepaskan dengan bebas di depan si suster yang menundukan kepalanya.
"Bagaimana saya harus memberitahu istrinya, dok?"Dokter tadi melihat ke arah Tila yang masih tertidur. Mata sedihnya lebih terlihat sekarang.
"Saya percaya, ibu tahu bagaimana caranya."
Mereka pun keluar kamar dan suara pintu yang ditutup seperti suara bom bagiku. Haruskah aku membangunkan Tila sekarang? Mengeluarkannya dari mimpi indah dan membawanya pada kenyataan yang sangat pahit? AKu tidak tahu! Aku sangat bingung dan putus asa.
Tapi Tuhan rupanya punya kehendak lain. Tila bangun lebih dulu dari keputusanku. Ia mengucek matanya dan tersenyum padaku.
"Siapa tadi, Na?"
"Do...dokter." Jawabku. Bingung antra haruskah aku mengeluarkan nada biasa, tegar, atau sedih.
"Kamu kenapa, Na? Habis nangis bukan?"
Oh Tuhan, dari dulu ia memang begini! Selalu polos dan tersenyum!
"La...La...Tila yang tabah, yah."
Membuat kata - kata itu seperti orang yang tiba - tiba terjun ke jurang ketika ia dihadapi pada jurang yang dalam, tetapi bila mundur ada orang yang akan membunuhnya.
"Na..Na! Kamu kenapa, Na? Kamu kenapa, Na?!"
"Kakak sudah tidak ada! Kakak sudah tidak ada, La!"
Aku tidak ingat bagaimana reaksi Tila. Apakah ia menangis, apakah ia tabah, apakah ia kuat, apakah ia tersenyum. Aku tidak tahu. Aku dengan egoisnya sibuk dengan emosiku sendiri dan tiak sadar bahwa yang seharusnya paling bersedih adalah Tila. Hingga akhirnya dokter datang untuk mencanbut semua alat - alat media yang dipakai Kak Awfa.
"La..."
Tila tidak menjawab apa - apa. Ia tidak menangis, meski air mata terus turun dari matanya yang memandangi wajah pucat itu. Sama pucatnya dengan ketika ia masih hidup, tetapi kini tidak bernyawa.
"Sayōnara, watashi no ai. Arigato gozaimashu."
Kata - kata itu diucapkan Tila sambil mengecup kening suaminya. Sampai beberapa hari kemudia aku baru mempertanyakan mengapa tangisanku malah lebih histeris. Dan jawabannya adalah mungkin karena aku sangat menyayangi mereka berdua, dan aku terbiasa berjuang untuk kebahagiaan mereka, terutama Tila. Ketika hal ini terjadi, aku merasa telah gagal membahagiakan mereka.Kakak dimakamkan dua hari setelahnya, ketika keluarganya dan keluarga Tila serta kerabat mereka berkumpul. Semua orang menangis. Semua bahkan aku. Semua kecuali Tila. Ia bukan berusaha tabah dan menahan air mata. Tapi memang ia memiliki kesadaran bahwa menangis tidak ada gunanya.
Tila baru menangis setelah pemakaman. Ia menghabiskan sepanjang hari di kamar dan suara tangisnya tidak bisa disembunyikan dariku. Mungkin akan lebih bijak kalau aku membiarkannya meneluarkan segala emosi dan kesedihannya seorang diri.
Setelah dua minggu cutiku habis, aku menghubungi orang tua Tila. Mereka setuju untuk membawa Tila ke rumah orangtuanya hingga akhirnyaia cukup kuat untuk hidup mandiri lagi. Aku harus kembali ke Paris. Tila mengantarku sampai bandara dan sebelum aku pergi, Tila bebricara padaku.
"Ada yang harus kukatakan...Na...Na...Arina."
Gema suara Tila yang memanggilku itu tiba - tiba kembali bersatu dan terasa nyata. Ya ampun, aku tertidur rupanya.
"Na, capek ya? Kita pulang, yuk."
"Oh...udah selesai. Ayo pulang."Aku merenggangka badan terlebih dahulu dan berdiri. Keadaannya sama seperti tadi. Suram. Tak bernyawa.
"Tila..."
"Ya."
"Kamu ingat, waktu aku pulang ke Paris lima belas tahun yang lalu. Kamu mau bicara sesuatu sama aku, kan? Apa sih yang mau kamu sampaikan?"
Tila menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. Ia tersenyum namun matanya mulai basah dan mengeuarkan air mata.
"Waktu itu, aku ingin menyampaikan kata - kata terakhir kakak tentang kamu. Kata kakak, berkat kamulah dia bisa bahagia dengan bertemu denganku. Kakak sangat senang, karena kamu yang mengatur drama itu, kamu yang mengatur pernikahan kami, kamu yang mengatur bulan madu kami, dan semuanya membuat kakak bahagia. Kakak sangat berterima kasih padamu."
Tanpa sadar aku mengangkat alis. Mungkin aku memang pandai menjodohkan orang. Dan aku yang padai menjodohkan orang ini belum menikah di usia hampir 40. Aneh juga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar