Minggu, 10 April 2011

Bukan Salahmu Bila Tak Cinta

Tawa riangmu hari itu masih bisa ku ingat dengan jelas, lambaian indah tanganmu pun masih bisa aku rasa. Hari itu kau begitu bahagia, seakan semua indah hadir dalam dirimu, menutup semua duka yang pernah hinggap dalam hatimu selama ini. Jauh suaramu sudah terdengar riang memecah keheningan yang sedang menggantung dalam hatiku. Tapi ternyata itu adalah tanda akan datangnya duka yang mendalam yang tidak sanggup aku lupa sampai saat ini.

“Pagi Gilang. Tambah ganteng aja, nih! Anak siapa sih? Anak Pak Amat tentunya.” Candamu pagi itu saat memasuki ruang kelas.
“Ah, Lintang. Kamu kalau muji paling bisa. Padahal kamu tau aku enggak kayak gitu kan?”
“Eh..ini bukan pujian, tapi kenyataan lho! Sumpah deh samber gelegek.”
“Kalau benar gitu, kenapa Lintang enggak mau jadi pacar saya. Ayo jawab dengan jujur ya!”
“Bukan enggak mau, hanya kurang ‘pd’ harus jalan bareng Mas Gilang yang guan..teng. Soalnya Lintang kan enggak cantik.”
“Emang kalau orang ganteng harus jalan ama yang cantik juga?”
“Iya dong! Biar seimbang!”
“Udah,jangan diteruskan! Nanti jadi ngawur.”
“Iya deh!”

Canda ringan seperti ini selalu menemaniku sejak aku pertama kali masuk di SMA Nusa Permai ini setelah kepindahanku. Lintang adalah teman pertama yang aku punya karena kebetulan kami tinggal diperkampungan yang sama. Lintang adalah gadis simpel dan mudah bergaul dengan siapa aja. Ia cepat bisa menyesuaikan dirinya dengan siapa aja. Ya seperti ungkapan ‘the right woman on the right place’ lah. Mungkin karena ini pula banyak yang suka dengannya, terutama cowok-cowok di sekolahku. Aku juga diam-diam sudah menyukainya sejak lama. Suatu hari aku pernah meminta ia untuk menjadi pacarku.

“Lintang boleh tanyak enggak?”
“Boleh dong. Tanyak apa?”
“Kalau Gilang bilang Gilang sayang Lintang dan mau Lintang jadi pacar Gilang, Lintang mau terima enggak?”
“Akh, Gilang yang tidak-tidak aja! Masak teman mau dijadiin pacar. Enggak lucu atuh!”
“Ini serius. Mau enggak?”
“Enggak akh! Entar Lintang enggak punya teman baik yang bisa buat curhat. Enggak mau!”
“Ya,sudah kalau enggak mau.” Jawabku dengan rasa kecewa.

Selama ini aku memang telah menjadi tempat curhat Lintang yang setiap saat selalu punya waktu untuk mendengar keluh-kesah, suka-duka, bahkan sampai urusan cintanya. Diam-diam, Lintang ternyata jatuh hati pada seorang temanku, Pandu. Ia lain kelas denganku dan Lintang, dan aku juga yang telah mengenalkan Lintang ke Pandu. Tanpa aku duga,ternyata Lintang menaruh hati ke Pandu dan sering kirim salam untuknya melalui aku. Pandu yang beruntung, pikirku. Karena dari sekian banyak yang menaruh hati padanya, bahkan aku sendiri,Pandulah yang mendapat perhatian dari Lintang.

“Gilang liat Pandu enggak hari ini? Lintang ada perlu ama dia lho.”
“Enggak. Mungkin dia ada dikelasnya. Cari aja kesana.”
“Temani dong. Malu kalau kesana sendiri.”
“Males ah!”
“Pliz……”
“Iya deh! Ayo cepetan!”

Bertemu Pandu, Lintang seperti lupa akan kehadiranku. Ia terlalu asik bercerita sehingga tidak menyadari kepergianku. Kusimpan semua rasa kecewa yang mendalam ini jauh-jauh karena bagaimanapun juga Lintang adalah sahabatku. Lagipula rasa cinta yang aku punya untuknya adalah rasa cinta yang tulus, sehingga rela merasakan sakit asal Lintang dapat bahagia. Selama aku masih bisa menjadi temannya, aku akan sangat bahagia.

Pagi itu lain dari biasanya Lintang menyapaku dengan sejuta resah dan gelisah menggelantung dipelupuk matanya. Aku dapat merasakan itu melalui sikapnya Lintang pagi itu sungguh berbeda. Tiada canda riang yang selalu menemaniku seperti biasanya.

“Aduh Li, kok murung? Entar cepat tua lho.”
“Enggak ada, cuma lagi males ngomong aja.”
“Marah ya ama aku? Atau aku uda buat kamu kesal?”
“Enggak kok. Enggak ada apa-apa.”
“Ngomong dong Li. Enggak biasanya kamu seperti ini.”
“Entar deh kalau hatiku udah enakan. Maaf ya Gi! Aku belum bisa bilang sekarang.”

Lintang pun berlalu meninggalkan aku yang masih terdiam tak percaya dengan perubahan sikapnya. Itu bukan Lintang yang biasa aku kenal. Masalah besar apa yang sudah membuat ia menjadi seperti itu. Aku harus menolongnya!

“Lintang tunggu! Lintang berhenti dulu, aku mau ngomong nih!”
“Sudah lah Gi, entar aja kalau aku uda siap betul ngomong masalah ini ke kamu.”
“Tapi dengan bersikap begini, kau malah membuat aku penasaran. Apa ini ada hubungannya dengan Pandu?” Lintang terdiam tak menjawab pertanyaanku.
“Jawab Li. Semua ini karena Pandu kan? Apa yang sudah ia buat ke kamu?”
“Tidak ada. Bukan karena Pandu dan juga bukan karena kamu. Aku hanya lagi ingin sendiri. Mengertilah Gi? Sekali ini saja, izinkan aku sendiri.”

Kata terakhir Lintang menyadarkan aku bahwa ia memang sedang dalam masalah besar sampai ia menyembunyikan semuanya dariku. Aku harus menemui Pandu karena ini pasti ada hubungannya dengan Pandu. Aku harus menyelesaikan semua ini dengan segera. Aku tidak mau melihat Lintang menderita terlalu lama. Aku enggak rela, pokoknya enggak rela! Bergegas aku melangkahkan kakiku menuju kelas Pandu.
Pandu sedang duduk membaca buku didalam kelasnya saat aku memanggilnya dengan suara sedikit marah.

“Pandu! Bisa bicara sebentar? Ada hal penting yang harus kubicarakan denganmu?”
“Tentu, Gi. Ada apa sih? Kelihatannya penting banget sampai harus bentak-bentak segala.”
“Semua urusan buatku akan menjadi sangat penting kalau urusan itu menyangkut sahabatku Lintang.”
“Emangnya Lintang kenapa Gi?” Pandu kelihatan khawatir, tapi dalam hatiku mengganggap itu pura-pura.
“Jangan pura-pura bodoh! Kamu apakan Lintang ah! Dia belum pernah seperti ini sebelumnya.”
“Aku? Enggak ada! Aku dengan Lintang baik-baik saja, kemarin malam aku baru dari rumahnya dan enggak ada masalah apa-apa. Sungguh Gi! Aku enggak bohong!”
“Alah, jangan pura-pura! Didepanku kau bisa ngomong gitu, tapi kenyataannya Lintang pagi ini datang dengan wajah murung, dan yang paling parah lagi, dia malah enggak mau ngomong ke aku, sahabatnya sendiri.”
“Kalau memang enggak ada apa-apa, lalu aku harus ngomong apa?”
“Jadi benar enggak ada masalah apa-apa, Pan?”
“Benar! Aku berani sumpah deh!”
“Kalau gitu ada masalah apa ya sebenarnya?”
“Biar deh aku tanya ke Lintang.”
“Jangan sekarang. Dia lagi pingin sendiri. Itu pesannya buatku.”

Aku kembali kekelas karena bel masuk sudah berbunyi. Aneh, Lintang enggak ada dikelas padahal pagi tadi dia datang. Kemana Lintang? Aku enggak konsen selama di dalam kelas. Pikiranku tertuju ke Lintang. Apa yang terjadi dengannya? Kenapa dia samapi enggak masuk kelas? Sekarang ia ada dimana dan lagi apa? Berjuta pertanyaan meghampiri pikiranku. Aku ingin bel istirahat segera berbunyi dan aku bisa mencari Lintang. Waktu yang hanya 2 jam setengah terasa seperti 2 abad aja. Akhirnya bel pun berbunyi! Tanpa menunggu Pak Sanusi keluar dari kelas, aku langsung beranjak pergi.
Setiap sudut sekolah rasanya sudah aku telusuri tapi aku masih belum bisa menemukan Lintang. Kecemasan semakin memuncak dikepalaku, rasa takut semakin dekat menghampiriku. Takut kalau sampai Lintang melakukan hal yang tidak-tidak. Oh Tuhan, bantu aku menemukan Lintang! Jangan sampai ia berbuat nekad. Tolanglah Tuhan! Bantu aku sekali ini! Namun, sampai jam pelajaran berakhir, aku masih belum bisa menemukan Lintang. Dengan putus asa, aku menelpon ke rumah Lintang sambil berharap ia ada dirumah. Ibu Lintang yang menjawab telponku.

“Siang Tante. Ini Gilang. Lintang ada?”
“Enggak ada. Belum pulang dari sekolah. Emangnya Gilang enggak ketemu disekolah?”
“Enggak Tante. Kebetulan hari ini Gilang enggak ke sekolah.” Aku terpaksa berbohong untuk tidak membuat Tante Irma khawatir.
“Oh. Gitu. Nanti kalau Lintang pulang, Tante kasi tau Lintang deh kalau Gilang nelpon.”
“Makasih Tante.”

Kecemasan ku semakin parah. Aku sudah tidak tau lagi harus cari kemana lagi. Semua tempat yang sering kami datangi sudah berulangkali aku periksa, tapi tetap tidak ada Lintang. Aku putus asa! Dalam hati hanya bisa berdoa tidak terjadi apa-apa dengan Lintang. Mungkin saat ini ia memang benar-benar ingin menyendiri dan tidak ingin diganggu, meskipun itu aku. Aku hanya berharap Lintang akan menelpon ku kalau ia benar-benar sudah siap, seperti janjinya padaku. Dengan pasrah aku duduk dihalte depan sekolah untuk menunggu bis yang selalu setia mengantarku pulang. Tiba-tiba…

“Gilang…..Gilang…..Gilang…..!”
Aku seperti terbangun dari mimpi saat mendengar suara Lintang memanggil namaku. Lintang sedang berdiri diseberang jalan, berteriak-teriak memanggil namaku.

“Hey, Lintang. Darimana aja? Aku uda capek nyarik kamu dari tadi!”
“Aku pergi ke mall. Jalan-jalan ilangin suntuk.” Jawab Lintang masih dari seberang jalan.
“Kemari deh, kita pulang baren.”
“Oke!”

Hatiku belum penah sebahagia ini. Lintang baik-baik saja. Terima kasih Tuhan, Kau telah mengabulkan doaku. Aku mungkin terlalu khawatir.

Hari itu jalanan terlalu ramai, Lintang pun sulit untuk menyebrang jalan karena dia kelihatan sangsi untuk melangkahkan kakinya. Dari seberang jalan, aku memperhatikan Lintang dengan sedikit cemas. Hingga akhirnya, kulihat Lintang melangkahkan kaki untuk menyebrang, namun tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah mobil pengangkut sayuran menyambut langkah ringan Lintang, dan suara nyaring rem mobil memecah suasana keramaian hari itu.

Aku berteriak sekuat tenaga memanggil nama Lintang saat melihat kejadian tragis itu didepan mataku. Sekerumunan orang kemudian berkumpul menutupi tubuh Lintang. Aku terpaku untuk beberapa saat sebelum tersadar dan berlari keseberang jalan. Aku tarik tubuh orang-orang yang sedang berkerumun itu satu per satu sambil terus berteriak.

“Awas! Geser sedikit! Dia teman ku! Awas! Biarkan aku lewat!”
“Sabar ya dek.” Kata salah satu orang diantara mereka.
“Tapi geser dulu, dan tolong telpon ambulan sekarang juga! Tolong!!!!”

Kekuatanku seakan hilang entah kemana. Tiada tersisa daya untuk menyibak satu per satu tumpukan sayur yang menutupi wajah Lintang diantara butir-butir darah merah yang dengan santainya mengalir dari kepala Lintang. Itu bukan Lintang sahabatku! Teriak ku dalam hati! Perlahan aku kumpulkan kekuatan ku untuk menyibak tirai yang menutupi wajah manisnya. Seperti nyawa terlepas dari badanku, ku lihat wajah Lintang tertutup ‘bercak’ darah merah sehingga aku tidak bisa melihat lagi wajah manis yang selama ini selalu hadir mengisi hari-hari ceriaku. Tersadar dari mimpi, kurengkuh tubuh Lintang yang tak lagi bergerak. Kubiarkan darah merah itu menyatu dengan tubuhku seakan aku ingin membagi semua derita yang ia rasa saat ini. Tangis ku akhirnya tak tertahan lagi, mengalir diiringi teriakan tak percayaku menerima kenyataan ini.

Tubuh Lintang masih kurengkuh dengan erat tanpa mau kulepaskan. Rasa tak percaya kalau ini harus terjadi kepada Lintang masih terus menyergap tak ingin pergi. Harapan besar masih kuselipkan dihati bahwa Lintang akan baik-baik saja. Tak lama kemudian, ambulan pun datang dan membawa Lintang pergi. Aku turut ikut menemaninya dengan mulutku yang tak berhenti berdoa untuknya.

Setiba di rumah sakit, tubuh Lintang yang berlumuran darah itu dibawa masuk ke ruang UGD (Unit Gawat Darurat). Aku diminta untuk menunggu diluar. Sambil menunggu, aku menelpon Tante Irma, mengabarkan berita ini. Tentu saja Tante Irma shok dan mengatakan akan langsung ke rumah sakit.

Sekitar dua jam Lintang berada didalam ruang UGD. Seorang perawat keluar dan bertanya padaku dengan suara yang sedikit tertahan, dan semakin membuatku panik

“Kamu yang bernama Gilang?”
“Iya, benar. Ada apa sus?”
“Mari ikut saya. Pasien memanggil nama kamu terus.”
“Baik sus.”

Ku ikuti langkah kaki suster menuju ruang UGD. Didalam ruangan itu, kulihat tubuh Lintang sudah dibersihkan dan lukanya juga sudah dibalut. Wajah manisnya sudah bisa kulihat lagi. Aku bersyukur dalam hati. Tapi saat melihat begitu banyak alat kedokteran yang menemani Lintang, jantungku kembali berdegup kencang. Aku bertanya kepada dokter yang menangi Lintang.

“Teman saya kenapa Dok?”
“Teman kamu mengalami pendarahan otak yang sangat parah, dan harus kami operasi sekarang juga. Sekarang ia sedang dalam keadaan krisis”
“Lalu?”
“Kemungkinannya sangat kecil. Saat sadar tadi ia mengatakan ingin bicara dengan Gilang. Itu kamu kan?”
“Iya.”
“Nah, sekarang bicaralah dengannya. Jangan lama-lama ya. Kami harus membawanya ke ruamg operasi.”
“Baik Dok!”

Kulangkahkan kaki mendekati Lintang. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menyerahkan sepucuk surat kepadaku. Setelah itu matanya kembali terpejam. Kulihat tubuh Lintang berlalu menuju ruang operasi. Doa tulusku untuk keselamatannya menyertai kepergiannya menuju ruang operasi.

Hari itu adalah hari terakhir aku melihat wajah manis Lintang. Operasi yang direncanakan belum sempat dilakukan, Lintang sudah tidak sabar untuk pergi bertemu yang Illahi. Kesedihan menyelimuti orang-orang terdekatnya, terutama aku. Hampir saja aku melupakan surat yang diberikan Lintang saat itu karena kesedihan ini. Setelah satu minggu kepergian Lintang, aku baru membaca suratnya.

Tulisan tangan Lintang kubaca perlahan. Didalamnya, ia mencurahkan segala isi hatinya yang ingin ia utarakan padaku. Kata maaf mengawali isi surat itu.

“Maaf, karena aku bukanlah sahabat yang baik buatmu. Maaf karena aku tidak cukup peka untuk mengetahui perasaan yang terpendam dalam hatimu. Maaf karena aku tidak cepat menyadari itu. Maaf karena aku tidak bisa membalas perasaan itu, karena aku baru tahu setelah Pandu menceritakan hal ini padaku. Ternyata selama ini, Gilang benar-benar sayang ke Lintang, tapi Lintang dengan begitu egoisnya malah jatuh hati dengan teman Gilang yang ternyata menyukai Lintang karena dendamnya ke Gilang. Pandu mengaku jujur bahwa perasaan sayangnya ke Lintang karena ingin membalas sakit hatinya ke Gilang karena telah merebut kekasihnya, dan karena ia tahu Gilang sayang Lintang, ia menerima Lintang untuk membuat Gilang merasakan hal yang sama. Mengapa Lintang tidak menyadari ini lebih awal, sehingga tidak menyiksa Gilang terlalu lama? Maaf kalau Lintang sudah membuat Gilang kecewa. Melalui surat ini Lintang juga mau minta maaf karena tidak bisa membalas cinta Gilang. Gilang masih maukan menjadi sahabat Lintang?

Sahabatmu
Lintang.

Hari ini, aku sedang duduk disamping batu nisanmu. Mengenang memori indah kita dulu. Aku kembali teringat bait-bait surat yang membuat ku ingin berteriak marah. Karena aku tidak pernah tersiksa dan merasa tersiksa akan cintaku yang tak berbalas atau karena Pandulah yang dipilih Lintang. Tapi semua sudah terjadi. Untukmu sahabat terbaikku, aku sudah memaafkan mu jauh sebelum kau memintanya. Itulah gunanya sahabatkan? Satu yang pasti, semua ini bukan kesalahanmu. Bukan salahmu bila kau tak cinta Lintang, dan juga bukan salahmu bila cintaku tak berbalas. Kalimat ini selalu ingin kuucapkan buatmu, bahkan setelah 3 tahun kepergiaanmu. Kuharap kau dapat mendengarnya sobat, jauh dari alammu yang bahagia disana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar